Oleh: Chairil Amin Saputra
Hutan Lindung Air Talang (HLAT) merupakan salah satu kawasan pesisir yang paling dinamis dan esensial yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan tepatnya di Kabupaten Banyuasin yang saat ini telah mengalami degradasi dan konversi. HLAT memiliki luas sekitar 12.660,87 ha, namun lebih dari setengah bagian hutan lindung ini telah mengalami degradasi dan konversi menjadi perkebunan kelapa dan kelapa sawit, tambak ikan dan udang, pertanian serta pemukiman.
Secara keseluruhan, teridentifikasi enam tipe tutupan lahan utama yang paling mendominasi di HLAT, termasuk hutan primer, hutan sekunder, perkebunan kelapa, lahan terbuka, tambak, dan badan air. Hutan primer didominasi oleh spesies mangrove sejati, sedangkan hutan sekunder merupakan campuran antara mangrove dan semak belukar.
Analisis Tutupan Mangrove
Berdasarkan hasil pengamatan luas hutan primer dan sekunder menurun secara signifikan selama periode 35 tahun (1985–2020), Pada tahun 1985, hutan primer seluas 6.257 ha (49,42% dari total luas HLAT), dan setelah 35 tahun, sisanya luas hutan mangrove primer hanya 2.936 ha (23,19%). Perubahan ini menunjukkan hilangnya hutan primer dalam jumlah besar lebih dari 50% selama periode tersebut. Begitu pula dengan luas hutan sekunder juga berkurang secara signifikan dari 36,56% pada tahun 1985 menjadi hanya 8,87% pada tahun 1985. 2020.
Sebaliknya hasil identifikasi menunjukan peningkatan signifikan pada area terbuka (hutan terdeforestasi), sebesar hampir 50%, dari tahun analisis awal. Begitu pula dengan luas perkebunan kelapa yang bertambah sebesar 21% dan kolam ikan yang meningkat hingga 189 ha.
Perkiraan emisi karbon menunjukkan bahwa konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa menghasilkan karbon yang lebih tinggi emisi dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan lainnya. Kehilangan hutan mangrove maka akan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar sebanding dengan karbon yang telah diserap. Deforestasi atau kerusakan mangrove dapat menyebabkan peningkatan dari emisi karbon dioksida 20% (CO2) di atmosfer.
Dari kasus tersebut perlu adanya edukasi dan pelatihan kepada masyarakat dalam mengelola hutan mangrove secara berkelanjutan dan cara mengoptimalkan manfaat ekonomi dari hutan mangrove tanpa merusaknya. Sistem pemantauan dan evaluasi yang efektif juga diperlukan untuk melacak kondisi hutan mangrove, tingkat degradasi, dan efektivitas langkah-langkah yang akan diambil.