Mengupas Perjanjian Ekstradisi dan Sengketa Perbatasan RI-Singapura

Oleh: Haura Azalia Putri Fardian

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Singapura dimulai pada tahun 1966 setelah Singapura merdeka dari Federasi Malaysia. Sebagai negara tetangga, keduanya memiliki hubungan yang erat di berbagai bidang, termasuk perdagangan, pendidikan, dan investasi. Indonesia dan Singapura juga menjadi anggota pendiri ASEAN pada tahun 1967, memperkuat kerja sama regional mereka. Meskipun demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam penegakan hukum lintas negara dan sengketa maritim di Selat Singapura.  

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Perjanjian ekstradisi pertama kali dirancang pada tahun 1974 untuk memudahkan pemulangan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke negara lain. Namun, perjanjian ini baru resmi ditandatangani pada 25 Januari 2022 di Bintan, Kepulauan Riau. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM Indonesia, Yasonna H. Laoly, dan Menteri Dalam Negeri serta Kehakiman Singapura, K. Shanmugam, dengan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.  

Perjanjian ini mencakup 31 jenis kejahatan, termasuk korupsi, narkotika, pencucian uang, dan terorisme. Beberapa kasus terkenal yang melibatkan pelaku yang melarikan diri ke Singapura adalah kasus Harun Masiku, Djoko Tjandra, dan Maria Pauline Lumowa. Dengan perjanjian ini, ruang gerak pelaku tindak pidana lintas negara diharapkan dapat dibatasi. Namun, keberhasilan implementasi perjanjian ini memerlukan ratifikasi penuh dari kedua negara.  

Sengketa Perbatasan di Selat Singapura

Sengketa maritim antara Indonesia dan Singapura terkait klaim kedaulatan atas beberapa pulau karang dan terumbu karang di Selat Singapura. Indonesia mendasarkan klaimnya pada sejarah, geografi, dan prinsip hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Sementara itu, Singapura mengandalkan klaimnya pada administrasi kolonial dan pengakuan internasional.  

Selain klaim kedaulatan, sengketa ini juga melibatkan hak pengelolaan sumber daya alam, seperti ikan, minyak, dan gas, yang memiliki dampak ekonomi signifikan bagi kedua negara. Selat Singapura juga memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan internasional, menambah urgensi untuk menyelesaikan masalah ini secara damai.  

Upaya Penyelesaian Sengketa

Untuk menyelesaikan sengketa ini, kedua negara sepakat menggunakan jalur damai. Dialog bilateral telah dilakukan sejak 1973 hingga 2009 untuk mencari solusi. ASEAN juga memainkan peran penting sebagai mediator dalam mendorong penyelesaian sengketa. Salah satu langkah konkret yang dilakukan Indonesia adalah menetapkan Pulau Nipa sebagai titik pengukuran batas wilayah. Penetapan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 dan telah didaftarkan ke PBB.  

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Singapura menunjukkan pentingnya kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama. Perjanjian ekstradisi memberikan peluang besar dalam memperkuat penegakan hukum lintas negara, sementara sengketa maritim memerlukan pendekatan hukum yang adil dan komitmen untuk menjaga hubungan bilateral yang stabil.  

#MCPRDailyNews

Leave a Reply