Menghindari Kepunahan Lokal Akibat Perubahan Iklim, Indonesia Butuh UU Keadilan Iklim

Oleh: Muhammad Ramzy Andyan Mahendra

Perubahan iklim telah menyebabkan kepunahan lokal pada banyak tumbuhan dan hewan, berdasarkan survei selama beberapa dekade. Seiring dengan semakin cepatnya perubahan iklim, laju kepunahan ini juga dapat semakin cepat, sehingga berpotensi menyebabkan kepunahan pada tingkat spesies dalam skala besar. Memahami bagaimana perubahan iklim berdampak pada keanekaragaman hayati merupakan salah satu tantangan paling mendesak bagi para ahli biologi. Para peneliti di Universitas Arizona menunjukkan bahwa laju kepunahan lokal akibat perubahan iklim telah meningkat seiring berjalannya waktu dan perubahan yang terlihat selama ~7 tahun terakhir serupa dengan yang terlihat selama ~70 tahun dalam penelitian sebelumnya. Hasil ini juga menunjukkan potensi untuk mempelajari kepunahan populasi liar terkait iklim dalam rentang waktu yang sangat singkat dibandingkan mengandalkan catatan sejarah atau proyeksi perubahan di masa depan. Mereka juga menunjukkan bahwa beberapa populasi dengan cepat menghilang baik di dataran rendah maupun tinggi. Survei serupa sangat dibutuhkan untuk spesies dan wilayah lain. Secara keseluruhan, hasil ini menyiratkan bahwa kita mungkin akan segera mencapainya pandangan yang tak tertandingi (dan mengerikan) mengenai hilangnya keanekaragaman hayati dalam hidup kita.

Faktanya, dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat terjadi peningkatan jumlah bencana  cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian. Jika konsentrasi CO2 di Indonesia terus meningkat, dikhawatirkan  pada akhir abad 21 kenaikan subu akan mencapai 3-4°C. Berdasarkan data BMKG, Indonesia mengalami peningkatan konsentrasi CO2 dari 372 ppm menjadi 41 ppm.

Dampak nyata terjadi di indonesia mengalami perubahan iklim terkait kepunahan lokal salah satunya terjadi di papua. Tutupan es atau “salju abadi” di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua terus mencair dari tahun ke tahun. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengamati perubahan ini selama beberapa tahun dan menggambarkan situasi “salju abadi” yang semakin mengkhawatirkan karena terus mencair. Jika terus menerus mencair, Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi. Imbasnya akan mengancam habitat bagi 34 tipe vegetasi dan 630 satwa spesies burung

Berdasarkan beberapa kejadian diatas menjadi salah satu pemicu untuk saatnya Pemerintah Indonesia mengambil langkah serius Salah satunya dengan pembentukan UU Keadilan Iklim.Hingga saat ini, pengaturan terkait perubahan iklim masih secara sporadis tersebar di beberapa tingkatan regulasi. Kendati demikian, peraturan pokok terkait perubahan iklim selama ini selalu diatur di level peraturan presiden, seperti pengesahan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 sebagai dasar hukum pelaksanaan pencapaian NDC. Akan tetapi, implementasi mitigasi dan adaptasi di tingkat sektor umumnya mengacu pada peraturan pokok sektor masing-masing. Permasalahan yang timbul kemudian adalah beberapa regulasi sektoral memiliki pengaturan yang justru bertentangan dengan semangat keadilan iklim.

Prinsip keadilan iklim harus menjadi sebuah acuan bagi penyelenggara negara untuk menangani permasalahan perubahan iklim. RUU diharapkan tidak menjadikan perubahan iklim sebagai sektor baru, melainkan bersifat koordinatif terhadap seluruh sektor. RUU Keadilan Iklim harus berlandaskan pada prinsip dan tujuan terukur seperti menjaga kenaikan suhu di bawah 1.5 derajat, mendorong peningkatan resiliensi masyarakat, membuka akses pemulihan dari loss and damage serta akses pendanaan yg adil. Prinsip dan tujuan terukur ini harus menjadi arahan bagi seluruh sektor dan pemangku kepentingan, serta bersifat koordinatif. RUU Keadilan Iklim juga harus memuat ketentuan-ketentuan operasional yang setidaknya meliputi mitigasi, adaptasi,fokus terhadap ekologi, tata kelola, pembiayaan, loss and damage, penegakan hukum dan mosi publik. Diharapkan penetapan ini kemudian perlu diikuti oleh penetapan target jangka panjang untuk mencapai nol emisi pada 2050.

Leave a Reply