Oleh: Jasmine Puteri Pertama
Menyoroti kerusakan ekosistem pesisir, karbon biru mulai menarik perhatian sejak istilah ini pertama kali diciptakan pada tahun 2009. Keberlanjutan strategi pengelolaan karbon biru harus menjadi target utama, sehingga pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang bagus untuk mencapai target tersebut. Terdapat aspek sosial yang perlu di pertimbangkan dalam pengelolaan karbon biru, diantaranya yaitu mata pencaharian, kepemilikan lahan, pengetahuan lokal, dan kapasitas lokal.
Berkaitan dengan hal tersebut, hal yang sangat berhubungan dengan ekosistem pesisir salah satunya keberadaan tambak. Keberadaan tambak ini berhubungan dengan mata pencaharian. Namun, di sisi lain tambak ini memiliki dampak buruk karena berpotensi mencemari lingkungan, khususnya merusak ekosistem hutan mangrove.
Hilangnya hutan mangrove berarti hilangnya fungsi daya dukung ekologi yang juga dapat mengganggu keberlanjutan budidaya kedepannya. Efek rusaknya mangrove tidak hanya dirasakan oleh petambak, tetapi juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat terutama daerah yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan atau yang mencari nafkah langsung dari alam.
Pemerintah Indonesia melalui Permen KKP No.75 Tahun 2016 telah mengatur bahwa tidak diperbolehkan membangun tambak baru pada lahan mangrove dan zona inti kawasan konservasi atau dengan menempatkan zona akuakultur di belakang zona intertidal. Sebagai alternatifnya, tambak dengan teknologi sederhana dapat dilakukan melalui tumpang sari pada lokasi hutan mangrove (silvofishery).
Di antara segala potensi yang dimiliki oleh ekosistem pesisir, tambak telah menjadi sumber daya penting dalam sektor perikanan global. Sementara tambak memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, keberadaannya juga memberikan tantangan serius terhadap kelestarian ekosistem pesisir. Diperlukan adanya sinergitas antara kedua aspek keberlanjutan sosial ekonomi dan keberlanjutan lingkungan agar pengelolaan ekosistem karbon biru dapat berkelanjutan.
Selain itu, terdapat kerja sama antara Bappenas dan ICCTF dengan AFD, yang menyediakan pendanaan sekitar Rp 9,9 miliar atau setara dengan 620.000 euro, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan terkait integrasi pengelolaan ekosistem. Proyek ini berlangsung selama tiga tahun dan akan difokuskan pada pengelolaan ekosistem karbon biru di tiga lokasi, yaitu Juru Seberang (Belitung), Likupang (Sulawesi Utara), dan Raja Ampat (Papua Barat).
Kerja sama ini memiliki dua tujuan utama. Tujuan pertama adalah menggabungkan gagasan karbon biru ke dalam kebijakan di tingkat nasional dan sub-nasional melalui implementasi Kerangka Kerja Strategis Karbon Biru Indonesia. Sementara tujuan kedua adalah untuk meningkatkan pengetahuan dasar, melakukan pencatatan, dan memperkuat kapasitas pemantauan, pelaporan, serta verifikasi (MRV) bagi pihak-pihak yang terlibat, baik di tingkat nasional maupun daerah