Oleh: Alfianu Adhi Riztiawan
Menurut PP No. 108/2015, Kawasan Suaka Alam (KSA) merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sementara itu, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) merupakan kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya.
Dibutuhkan tindakan nyata untuk memperkuat pengelolaan KSA dan KPA dengan segera melengkapkan rencana pengelolaan dan penataan kawasan tersebut. Pengesahan UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) merupakan respons terhadap kebutuhan untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. UU tersebut mengatur pembagian kewenangan yang jelas antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sehingga memudahkan aparat pemerintah untuk memahami tugas dan fungsi masing-masing. Perbedaan antara UU Pemda yang baru dan yang lama terletak pada penyerahan tanggung jawab pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (SDAHE). Pada UU Pemda yang lama, tanggung jawab tersebut diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan pada UU Pemda yang baru, tanggung jawab tersebut diberikan kepada Pemerintah Provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Provinsi lebih besar daripada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perubahan dalam UU Pemda telah mengubah pola pikir dalam pengelolaan KSA, yang sebelumnya mencakup hingga tingkat Kabupaten/Kota, menjadi hanya sampai tingkat Provinsi.
KSA yang dimaksud meliputi Sumber Daya Hutan, Mineral, dan Kelautan. Dalam struktur pengaturan yang terdapat dalam UU Pemda Nomor 23/2014, kewenangan terkait kawasan suaka alam di tingkat Kabupaten/Kota hampir tidak ada lagi. Hal ini berarti bahwa Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang lebih terbatas dibandingkan dengan UU Pemda yang lama. Pada UU Pemda yang lama, Kabupaten/Kota memiliki sejumlah kewenangan di bidang kehutanan, namun pada UU Pemda yang baru, kewenangan kehutanan telah didesentralisasi hanya hingga tingkat Provinsi.
Kewenangan Pemerintah Daerah pada Pengelolaan KSA
Keberadaan desentralisasi dan dekonsentrasi pada pemerintahan daerah memiliki dampak yang positif, seperti mencegah akumulasi dan sentralisasi kekuasaan yang berpotensi menciptakan tirani dan rezim otoriter, demokratisasi pemerintahan, efektivitas dan efisiensi pemerintahan, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman budaya, serta mendukung pembangunan ekonomi yang tepat dan efisien.
Namun, di sisi lain jika konsep pembagian kekuasaan tidak diimplementasikan dengan baik, dapat muncul sejumlah masalah. Ancaman disintegrasi negara, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta hambatan dalam pembangunan ekonomi adalah beberapa masalah yang mungkin timbul. Dalam konteks NKRI, perlindungan dan pengelolaan sumber daya genetik memerlukan arah politik hukum yang mencerminkan prinsip keutuhan NKRI. Dengan kata lain, keutuhan NKRI menjadi landasan dalam pembentukan kebijakan nasional untuk perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara menggambarkan prinsip negara hukum, yang menuntut konsistensi dalam setiap pengaturan yang mencerminkan politik hukum negara berdasarkan ideologi yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Dalam konteks ini, putusan Mahkamah Konstitusi memiliki implikasi penting karena harus didasarkan pada rasio legal yang kuat, yaitu pemikiran hukum yang kuat untuk menjelaskan alasan di balik setiap putusan yang diambil. Memahami ratio legal putusan Mahkamah Konstitusi akan membantu membentuk arah politik pembangunan perundang-undangan di masa depan, sehingga para pembuat undang-undang dan pihak-pihak yang terkait dapat dengan jelas memahami arah konstitusi sebagai norma fundamental dalam membangun negara ini secara lebih demokratis. Terutama dalam konteks pengelolaan KSA, yang memiliki dampak besar secara sosial dan kenegaraan.
Setidaknya, terdapat 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi yang berperan penting dalam kerangka konstitusional yang konkret terkait penguasaan negara atas Sumber Daya Alam (SDA), yaitu Putusan Perkara 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dua putusan tersebut menegaskan pentingnya interpretasi mendasar terhadap Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan maksud yang dimaksudkan.
Aspek Hukum terhadap Pengelolaan dan Pendayagunaan KSA
PP No. 28/2011 mengatur tentang KSA dan KPA. Dalam pertimbangannya, disebutkan bahwa KSA dan KPA merupakan kekayaan alam yang sangat berharga dan perlu dijaga keutuhannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Peraturan ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
PP tersebut secara umum mengatur tentang penetapan dan pengelolaan KSA dan KPA. Pengelolaan mencakup rencana pengelolaan, pengawetan, dan pemanfaatan. Kawasan Suaka Alam terdiri dari cagar alam dan kawasan suaka margasatwa, yang ditetapkan melalui tahapan penunjukan kawasan beserta fungsinya, penataan batas kawasan, dan penetapan kawasan.
Untuk menjadi kawasan cagar alam, suatu kawasan harus memenuhi kriteria seperti memiliki keanekaragaman hayati jenis biota serta tipe ekosistem, mewakili formasi biologis tertentu, memiliki luas yang cukup dan bentuk tertentu untuk pengelolaan yang efektif, memiliki potensi khas dan dapat menjadi contoh ekosistem yang memerlukan upaya konservasi, serta memiliki komunitas tumbuhan atau satwa langka atau terancam punah beserta ekosistemnya.
Sementara itu, untuk menjadi kawasan suaka margasatwa, suatu kawasan harus memenuhi kriteria seperti menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan jenis satwa yang perlu dikonservasi, memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi, menjadi habitat jenis satwa langka atau yang dikhawatirkan punah, menjadi tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, serta memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Menteri menunjuk kawasan cagar alam atau kawasan suaka margasatwa setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, berdasarkan berita acara tata batas yang direkomendasikan oleh panitia tata batas.
UU No. 5/1990, memiliki tujuan untuk melindungi sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan dan peranan penting bagi kehidupan manusia. Undang-Undang ini mengatur perlindungan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan lestari kawasan suaka alam dan ekosistem guna kesejahteraan masyarakat.
Meskipun UU KSDAHE telah melindungi kekayaan alam berupa tanaman dan satwa, namun belum secara maksimal mengatur perlindungan terhadap sumber daya genetik yang berasal dari mikroorganisme/mikroba. UU ini perlu diperluas untuk mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetik yang menjadi bagian dari sumber daya alam itu sendiri.
Sudah seharusnya UU KSDAHE direvisi oleh Pemerintah dan DPR agar sesuai dengan UU Pemda, sehingga terdapat pengaturan mengenai pembagian tugas pemerintahan yang bersifat konkuren antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah. Pengaturan ini tidak hanya mencakup pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tetapi juga kawasan suaka alam secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang utuh. Khususnya pada kawasan dengan ekosistem yang sangat luas, yakni ekosistem laut. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman yang jelas mengenai kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola dan memanfaatkan kawasan suaka alam serta menangani berbagai permasalahan yang muncul.