Perniagaan Telur Penyu: Penegakan Hukum Perdagangan Telur Penyu di Aceh

Oleh: Fadilla Nur Azizah

Kawasan hutan memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi tanah dan air, serta menyediakan jasa sosial, barang dan konservasi biodiversitas. Salah satu hasil yang dapat diperoleh dari hutan adalah hasil hutan non-kayu (non-wood forest product, NWFP), termasuk sumber daya satwa liar (wildlife products) yang dihasilkan dari hutan tersebut. Penyu (sea turtle) merupakan salah satu jenis satwa yang ada sejak 110 juta tahun yang lalu. Di dunia terdapat tujuh spesies penyu, enam di antaranya dapat ditemukan di Indonesia. Belakangan ini, populasi penyu telah mengalami penurunan yang signifikan, bahkan beberapa spesiesnya menghadapi risiko kepunahan. Beberapa peneliti telah mencatat bahwa tingkat kelangsungan hidup alami dari penetasan telur penyu hanya sekitar 50%, dan hal tersebut belum termasuk ancaman dari predator-predator lainnya saat telur menetas dan saat penyu kembali ke laut. Wilayah Aceh merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya laut yang melimpah. Penyu menjadi salah satu sumber daya alam yang penting di dalamnya, dengan memiliki nilai ekonomi yang signifikan.

Di daratan, predator alami seperti Kepiting Pantai (Ocypode saratan, Coenobita sp.), burung, dan tikus dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup telur tersebut. Telur penyu dilindungi oleh UU No. 5/1990 yang melarang perniagaan, perdagangan, penyimpanan, dan kepemilikan telur penyu. Penyu termasuk dalam Apendiks I menurut Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Punah (CITES). Hal ini disebabkan oleh maraknya perburuan telur penyu yang dilakukan, yang berdampak negatif pada populasi penyu dan juga mengancam keberadaan spesies ini. Penyu merupakan hewan endemik yang dilindungi, sehingga penting untuk melindungi dan melestarikan populasi penyu guna menjaga kelestarian ekosistem. Aktivitas penangkapan telur penyu yang meningkat menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi penyu dan dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem. Adanya Perlindungan hukum diperlukan untuk menjaga populasi penyu dengan melibatkan pemerintah dan masyarakat. 

Pelanggar Tindak Pidana Perniagaan Teluk Penyu

Banyaknya individu yang mengejar dan mengambil telur-telur penyu adalah sebagian besar penduduk pesisir yang tinggal di sekitar area perlindungan. Pemburu yang ada memiliki sikap yang sangat tidak kooperatif. Ketika mereka menemukan sarang penyu secara bersamaan, mereka justru enggan menjual temuan tersebut kepada pihak konservasi untuk menyelamatkannya. Hal tersebut disebabkan karena kesalahpahaman para pemburu yang yang beranggapan bahwa adanya banyak bantuan yang diterima pihak konservasi dari pemerintah. Dilihat dari kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai konservasi penyu tidak berbanding lurus dengan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat.  

Konsumsi Telur Penyu yang Tinggi 

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa masyarakat di wilayah pesisir memiliki minat yang besar dalam mengkonsumsi telur penyu, karena kebiasaan ini telah diturunkan secara turun-temurun. Hal ini disebabkan oleh demografi tempat tinggal mereka yang berada di dekat wilayah sarang penyu yang mudah diakses. Minat yang tinggi masyarakat dalam mengkonsumsi telur penyu telah menjadi suatu kebiasaan yang umum. Oleh karena itu, tingginya konsumen terhadap telur penyu menyebabkan perburuan terhadap telur penyu terus berjalan. 

Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait hukum, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti edukasi mengenai pentingnya pelestarian penyu, pemahaman tentang manfaat dan strategi pelestarian penyu dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, pola pikir masyarakat dalam memburu penyu untuk mencapai keuntungan. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terutama dalam penerapan Pasal 21 ayat (2) huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati, penerapan sanksi yang efektif, dan penguatan upaya pemerintah.

Leave a Reply