Penggunaan Media Sosial sebagai Alat Jual Beli Satwa Liar

Oleh: Alfianu Adhi Riztiawan

Memasuki era teknologi digital, pemakaian media sosial bak pisau bermata dua. Selain fungsinya sebagai sumber informasi dan komunikasi secara cepat tetapi juga membawa dampak buruk, misalnya saja dalam aspek berbisnis dan berdagang yaitu hal-hal terkait perjualbelian satwa langka. Sebagai acuan hukum dalam bertransaksi informasi dan elektronik, maka diterbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU tersebut juga mengatur setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki konsekuensi hukum di dalam maupun di luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan negara Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penggunaan sosial media tidak hanya untuk keperluan bersosialisasi, tetapi juga digunakan untuk kegiatan bisnis dan perdagangan. Salah satu contohnya terjadi pada oknum yang ditangkap oleh pihak berwenang karena menjual telur penyu melalui salah satu platform media sosial.

Adanya praktik perburuan dan perdagangan ilegal tersebut diduga dipicu oleh beberapa faktor, antara lain: 

  1. Penegakan hukum yang belum optimal terhadap pelaku kejahatan terhadap satwa;
  2. Kurangnya sosialisasi mengenai status perlindungan dan peran ekologi satwa kepada masyarakat;
  3. Persepsi yang salah terkait pengasuhan satwa yang seharusnya hidup bebas di habitatnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem; serta
  4. Nilai ekonomi yang tinggi dari satwa yang diperdagangkan baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya.

Sementara penghargaan terhadap keberadaan satwa masih terbatas pada aspek ekonomi. Oleh karena itu, upaya perlindungan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi sangat penting, mengingat kerusakan atau kepunahan salah satu komponen keanekaragaman hayati akan berdampak negatif yang jauh lebih besar daripada hanya kerugian materi.

Upaya Hukum serta Tantangannya

Dalam konteks kepunahan satwa liar, dapat digolongkan dalam 2 (dua) jenis, yakni: Pertama, kepunahan secara alami; Kedua, kepunahan karena manusia. Faktor kedua menjadi sangat penting karena, penegakan hukum pidana terhadap pelaku perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi menjadi faktor krusial dalam perlindungan dan keberlanjutan satwa liar sebagai bagian integral dari ekosistem. Larangan yang tegas terhadap eksploitasi satwa langka yang telah dilindungi oleh pemerintah dijelaskan dengan jelas melalui UU KSDAHE. 

Peraturan tersebut didasarkan pada pertimbangan yang sangat matang. Selain mempertimbangkan faktor kelangkaan satwa, peraturan tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam. Ancaman utama terhadap keberlanjutan satwa liar adalah berkurangnya atau rusaknya habitat mereka serta perburuan untuk perdagangan. Saat ini, perdagangan satwa liar telah menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang diperdagangkan di pasar berasal dari tangkapan alam, bukan dari penangkaran.

Walaupun kerangka hukum dan peraturan turunan yang komprehensif serta dirancang untuk mencegah kerugian, para pelaku ilegal seperti pemburu, pedagang, pengirim, dan pembeli satwa liar masih bisa menghindari proses hukum seperti penangkapan, penyidikan, dan penuntutan. Mereka memanfaatkan keterbatasan kapasitas dari penegak hukum di bidang kehutanan, kepolisian, dan sistem peradilan dalam menegakkan peraturan yang berlaku, serta dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.

Penjualan satwa liar dan langka melalui media sosial melanggar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UU ITE, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Menurut Pasal 1 ayat (4), Dokumen Elektronik merujuk pada setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau bentuk lainnya yang dapat ditampilkan, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik. Hal ini mencakup berbagai format seperti tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau jenis lainnya, yang memiliki makna atau arti dan dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Ayat (2) menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (1), merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, Dokumen Elektronik dapat berupa foto atau video satwa langka yang dilindungi.

Satwa-satwa liar seharusnya mendapatkan perlindungan yang memadai melalui peraturan perundang-undangan yang khusus, dan bukan hanya bergantung pada peraturan di sektor lain yang cenderung memperlakukan satwa liar sebagai barang biasa. Diperlukan penguatan dan perbaikan peraturan dalam upaya melindungi satwa liar, terutama dari perdagangan ilegal. Hal ini penting mengingat peran vital yang dimainkan oleh satwa liar dalam menjaga keseimbangan alam, serta besarnya ancaman yang dihadapi mereka akibat tindakan perdagangan ilegal.

Aparat penegak hukum menghadapi hambatan dalam menangani perdagangan ilegal satwa liar yang non-endemik di Indonesia karena tidak adanya aturan hukum yang secara khusus mengatur tentang satwa non-endemik. Terlebih, kenyataan bahwa aturan hukum yang ada saat ini belum memberikan kejelasan mengenai perlindungan terhadap satwa liar non-endemik di Indonesia, sehingga penerapan pidana dan denda administratifnya juga masih belum jelas.

Dalam hal penggunaan media sosial sebagai alat untuk transaksi satwa liar, revisi UU ITE diperlukan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap satwa liar tersebut. Saat ini, diperlukan peraturan yang tegas untuk mengatur transaksi legal penjualan dan penyelundupan hewan satwa langka melalui media sosial, dengan tujuan mengurangi kasus-kasus penjualan satwa langka di platform tersebut. Dalam hal ini, kerjasama yang baik antara Pemerintah melalui Kemenkominfo, platform digital, dan platform media sosial sangat penting, sehingga dapat melakukan tindakan tegas apabila terdapat penjualan hewan dilindungi yang terjadi secara ilegal.

Selain hal tersebut, diperlukan juga revisi terhadap UU No. 5/1990, guna meningkatkan perlindungan terhadap Sumber Daya Alam Hayati di Indonesia. Ketentuan dalam perundang-undangan tersebut dianggap tidak lagi efektif mengingat adanya banyak perubahan dalam UU terkait. Beberapa perubahan yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah memperkuat penegakan hukum dengan pengenaan sanksi pidana yang tegas agar dapat memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran.

Leave a Reply