Kebijakan Kawasan Konservasi Hayati: Pembagian Unit Pengelolaan Konservasi Tumbuhan

Oleh: Fadilla Nur Azizah

Potensi keanekaragam hayati yang begitu besar di Indonesia, memiliki manfaat yang sangat penting bagi pembangunan bangsa, baik dari segi ekonomi, ketersediaan pangan, sumber tanaman obat, maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, kekayaan ini dapat punah atau habis jika tidak dikelola secara bijaksana dan berkelanjutan. Diperlukan adanya kawasan konservasi sebagai perlindungan keragaman hayati. Pengaturan dan pembagian unit pengelolaan kawasan konservasi seringkali menimbulkan pertentangan antara pemerintah dan masyarakat yang telah lama tinggal atau beraktivitas pada kawasan tersebut. Konflik-konflik antar masyarakat dan pemerintah tersebut mencerminkan adanya dilema dalam pengelolaan kawasan konservasi, terutama terkait dengan akses masyarakat pada suatu kawasan. Dalam pengelolaan kawasan konservasi pemerintah perlu memastikan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi. Namun, pemerintah juga perlu membatasi akses masyarakat ke kawasan konservasi guna menjaga fungsi konservasinya.

Sebuah studi telah memperkirakan bahwa di 46 negara dengan lebih dari 53 % hutan bakau di seluruh dunia, ekosistem ini dapat mengurangi luas wilayah pesisir yang terkena dampak gelombang badai sekitar 30% atau setara dengan 36.061 kilometer persegi. Di Indonesia, sekitar 637.624 hektar dari total 3,31 juta hektar lahan mangrove berada dalam kondisi kritis. Untuk menjaga keberagaman hayati, diadopsilah kebijakan pembangunan konservasi sumber daya alam agar dapat melindungi dan menjaga fungsi SDA secara berkelanjutan, baik bagi generasi saat ini maupun yang akan datang. Dalam konteks ini, kebijakan pembangunan konservasi diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). UU ini secara komprehensif mengatur langkah-langkah untuk melestarikan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, meskipun adanya UU ini, kerusakan hutan tetap terjadi dengan laju yang tinggi, menyebabkan kehilangan, kematian, dan kepunahan spesies tumbuhan dan satwa liar. 

Terdapat 3 pasal dalam UU No. 5/1990 yang menggarisbawahi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 4, penjelasan Pasal 10, dan Pasal 37 yang secara prinsipil menyatakan bahwa KSDAHE merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat, serta pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam upaya rehabilitasi kawasan konservasi yang terkena bencana alam seperti longsor, erosi, kebakaran, dan gempa bumi, serta dalam penggunaan yang tepat dari kawasan konservasi. 

Dengan merujuk pada prinsip hukum yang ditemukan oleh Lawrence Friedman, di mana analisisnya lebih menekankan pada substansi UU No. 5/1990, dapat ditemukan beberapa hal yang menyebabkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi Sumber Daya Alam (SDA) belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi kelestarian dan keberlanjutan fungsi SDA. Hal-hal tersebut antara lain:

  1. Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersifat Biosentrisme. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi cenderung berorientasi pada kepentingan lingkungan dan spesies, tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan mereka.
  1. Terlalu memberikan Dominasi Peran Konservasi kepada Pemerintah/Negara ketimbang masyarakat. UU ini memberikan kekuasaan yang dominan kepada pemerintah atau negara dalam pengelolaan kawasan konservasi, sehingga mengabaikan peran aktif masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan SDA.
  1. Tidak ada pengakuan dan perlindungan akses atas kawasan konservasi dan hak penguasaan dan pemanfaatan masyarakat adat/lokal atas SDA. UU ini tidak memberikan pengakuan yang memadai terhadap hak akses masyarakat adat/lokal terhadap kawasan konservasi dan hak mereka untuk memiliki dan memanfaatkan SDA.
  1. Peran serta masyarakat bersifat semu. Meskipun terdapat pasal-pasal yang menyebutkan peran serta masyarakat, namun dalam praktiknya, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi masih terbatas dan tidak efektif.
  1. Pengelolaan kawasan konservasi tidak terpadu (sektoral). Pengelolaan kawasan konservasi sering kali dilakukan secara sektoral, tanpa adanya koordinasi yang baik antara berbagai sektor terkait seperti lingkungan, kehutanan, pertanian, dan lainnya.
  1. Lebih banyak mengatur hak negara daripada hak rakyat. UU ini lebih banyak mengatur hak dan kewajiban negara dalam pengelolaan kawasan konservasi, sementara hak-hak masyarakat atau rakyat dalam mengakses dan memanfaatkan SDA kurang diatur dengan baik.

Penyebab utama kegagalan kebijakan ini dalam upaya konservasi spesies adalah kurangnya pemenuhan kriteria efisiensi dan efektivitas biaya, keadilan, insentif, penegakan hukum, serta kegagalan dalam membangun kesadaran moral. Maka dari itu di UU No. 5/1990 tersebut perlu direvisi. Melalui revisi perlu dikaitkan dengan RUU KSDHE agar dapat memperkuat upaya perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara holistik dan efektif.

Leave a Reply