Oleh: Rangga Adithya Mulya
Ketahan pangan menjadi sebuah permasalahan yang dihadapi oleh nelayan. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa pangan didefinisikan sebagai kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak setiap individu untuk mendapatkannya.
Menurut Global Food Security Index (GFSI) ketahanan pangan Indonesia meningkat di angka 60,2% pada tahun 2023 meningkat dibandingkan periode 2021-2022. Meskipun GFSI mengatakan ketahanan pangan Indonesia meningkat akan tetapi ketahanan pangan di Indonesia masih di bawah rata-rata global indeks yaitu 62,2%. Masih tertinggal 2% dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Jepang, dan negara Asia Pasifik lainnya.
Dengan kondisi ketahanan pangan saat ini, tidak dapat dipastikan bahwa negara mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Kondisi ini diperparah dengan adanya inflasi yang terjadi sehingga menyebabkan harga pangan bergejolak (volatile food) diangka 5,83% skala nasional. Daerah kepulauan mendapatkan dampak yang signifikan akibat inflasi, Kota Ternate salah satu contohnya. Kota Ternate mengalami angka kenaikan inflasi sebesar 5,11% pada Maret 2023.
Kondisi Pangan Nelayan Kota Ternate
Kelompok nelayan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu nelayan perorangan, nelayan juragan, dan nelayan buruh. Kelompok nelayan perorangan merupakan kelompok nelayan yang memiliki perlengkapan dan bekerja untuk diri sendiri, nelayan juragan merupakan nelayan yang memiliki perlengkapan berlayar dan mempekerjakan nelayan buruh untuk mendapatkan hasil laut. Dalam hal ini nelayan yang dimaksud merupakan nelayan buruh. Artinya nelayan buruh tidak memiliki perlengkapan berlayar dan harus bekerja untuk nelayan perorangan ataupun nelayan juragan.
Rendahnya produktivitas ditambah dengan pola bagi hasil yang seringkali mempersulit nelayan buruh untuk mempertahankan kondisi pangan yang dihadapi. Hal ini diperparah dengan adanya kondisi laut yang tak menentu, sering kali nelayan buruh harus menunggu pasang pada saat ingin melakukan penangkapan ikan.
Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi para nelayan. Dengan zona perikanan tangkap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku Utara yang cukup jauh dengan Kota Ternate dimana para nelayan buruh tinggal. Dengan segala macam kendala yang dialami oleh para nelayan buruh menyebabkan angka nelayan buruh di kota Ternate berkurang sebesar 2,57%.
Di satu sisi, jika para nelayan buruh tidak melakukan pelayaran maka kondisi pangan para nelayan buruh akan sangat memprihatinkan. Hampir sekitar 70% para nelayan buruh tidak dapat mempertahankan kondisi pangan mereka lebih dari 250 hari yang termasuk dalam kategori kurang.
Masa Depan Nelayan Buruh
Meskipun Pasal 34 dan Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan negara berkewajiban di dalam memenuhi kebutuhan dasar (termasuk pangan) setiap warganya dan didukung oleh UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia (termasuk pangan) merupakan hak asasi manusia maka melihat kondisi para nelayan buruh ini tidak mendapatkan haknya.
Jika hal ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan para nelayan buruh tidak dapat bertahan dengan kondisi saat ini. Ratusan nelayan buruh juga terancam menganggur akibat hasil tangkapan ikan yang berkurang dan tidak memiliki akses untuk berlayar, jika tidak memiliki mata pencaharian maka tidak akan bisa mempertahankan kebutuhan pokok keluarganya maka Pasal 34 dan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 ini tidak terlaksana.
Hal ini tentu saja memprihatinkan melihat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar ke-2 di dunia yang kaya akan sumber daya perikanan, akan tetapi para nelayan buruh terancam tidak dapat melakukan pekerjaannya dan tidak bisa mempertahankan kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Bagaimana Cara Pemerintah Untuk Memenuhi Hak Pangan Nelayan Buruh
Dengan adanya Pasal 34 dan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, juga UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Sudah seharusnya pemerintah memenuhi hak pangan nelayan buruh. Faktanya, banyak sekali kaum nelayan buruh yang tidak pasti dan memprihatinkan. Pemerintah terlalu berfokus untuk melakukan pembangunan di kota-kota besar, namun berujung melupakan kesejahteraan para nelayan buruh, khususnya nelayan-nelayan yang menetap di daerah kepulauan.
Diperlukannya kebijakan-kebijakan baru untuk mendukung pelaksanaannya Pasal 34 dan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 juga UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dengan mekanisme ketersediaan dan aksesibilitas kebutuhan pangan nelayan buruh. Perlu dilakukan dukungan terhadap penjaminan ketersediaan pangan bagi rakyat dan melakukan klasifikasi juga pendataan terhadap kelompok nelayan buruh yang sangat membutuhkan bantuan pangan dari pemerintah. Sudah seharusnya hal ini menjadi salah satu fokus pemerintah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.
Maka dengan dibuatnya kebijakan, mekanisme, serta penjaminan atas hak pangan kelompok nelayan buruh negara mampu menyediakan dan memberikan semua hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh para nelayan buruh untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan hidup kelompok nelayan buruh.