
Sumber : https://journal.ipb.ac.id/index.php/jtpk/article/view/49047
Perubahan muka air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor astronomis dan dinamika laut, salah satunya adalah gaya gravitasi bulan dan matahari yang membangkitkan pasang surut. Di Indonesia, pengamatan pasang surut secara tradisional umumnya dilakukan menggunakan tide gauge yang mampu merekam fluktuasi muka laut dengan resolusi temporal tinggi, meskipun cakupannya terbatas pada lokasi stasiun pengamatan. Perkembangan teknologi satelit memberikan alternatif melalui altimetri satelit, yang memungkinkan pemantauan muka laut dengan cakupan spasial global, meskipun dengan resolusi temporal lebih rendah.
Studi terbaru menggunakan data Jason-3 altimetri dibandingkan dengan pengukuran tide gauge di wilayah timur Indonesia (Ambon, Ternate, Tahuna, dan Sape) menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada amplitudo dan fase komponen pasang surut. Hasil analisis harmonik memperlihatkan bahwa komponen K1 memiliki perbedaan terbesar dengan nilai RMSE 0,360 m, sedangkan komponen M4 relatif paling kecil dengan RMSE 0,003 m. Selain itu, korelasi yang tinggi ditemukan pada komponen semidiurnal seperti S2 dan M4, sedangkan korelasi rendah bahkan negatif terdapat pada komponen K1, K2, dan MS4.
Penyesuaian data SSH secara manual dan berbasis satelit Pengamatan satelit
Instrumen satelit altimetri Jason-3 merekam tinggi muka laut (Sea Surface Height/SSH) di sepanjang lintasan orbit. Karena posisi lintasan satelit tidak selalu tepat berada di titik stasiun pasut, maka nilai SSH perlu disesuaikan secara spasial menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weight (IDW). Metode ini memberi bobot lebih besar pada titik yang jaraknya lebih dekat dengan lokasi target sehingga diperoleh nilai SSH di titik normal (Ambon, Ternate, Tahuna, dan Sape). Dari sisi resolusi temporal instrumen, terdapat perbedaan mendasar: tide gauge mencatat data tiap ±1 jam, sementara altimetri Jason-3 hanya setiap ±9,9 hari. Kesenjangan ini menyebabkan fenomena aliasing frekuensi pasut, di mana frekuensi asli berubah menjadi semu (nol, setengah tahunan, atau tahunan). Untuk mengatasinya, dilakukan perhitungan periode aliasing agar data altimetri dapat disesuaikan secara temporal dengan pengamatan tide gauge. Dengan penyesuaian spasial (IDW) dan temporal (aliasing), data dari kedua instrumen dapat diproses lebih lanjut menggunakan analisis harmonik metode kuadrat terkecil guna mengekstrak amplitudo dan fase komponen pasut.
Perbandingan pasang surut tide gauge dengan SSH Jason-3
Data pasang surut diperoleh melalui tide gauge dengan interval pencatatan 1 jam dan satelit altimetri Jason-3 dengan interval siklus 9,9 hari. Tide gauge menghasilkan data yang rapat secara temporal, sedangkan Jason-3 memberikan cakupan spasial yang lebih luas namun resolusinya rendah. Untuk menyelaraskan keduanya, data tide gauge dirata-ratakan setiap 3 jam agar lebih mendekati waktu akuisisi altimetri. Hasil perbandingan pada empat lokasi (Ambon, Ternate, Tahuna, dan Sape) memperlihatkan pola pasut yang serupa, tetapi amplitudo dan detail frekuensi masih berbeda. Korelasi antara kedua instrumen relatif rendah, masing-masing 0,254 (Ambon), 0,332 (Ternate), 0,334 (Tahuna), dan 0,309 (Sape). Rendahnya nilai korelasi dipengaruhi oleh perbedaan metode pengukuran, perbedaan resolusi temporal, serta adanya data kosong pada catatan tide gauge. Perbandingan ini menunjukkan bahwa tide gauge lebih tepat untuk pengamatan detail di lokasi tertentu, sementara Jason-3 lebih bermanfaat untuk pemetaan pasut berskala luas. Integrasi keduanya diperlukan agar hasil pengukuran pasang surut dapat lebih akurat dan komprehensif.
Writer : Instrumentation and Marine Technical Survey Bureau