Metode Diagnostik untuk Hubungan Atmosfer-Lautan di Atas Lautan Tropis pada Skala Waktu Sub-Musiman

Sumber : https://agupubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2023GL106837# 

PENDAHULUAN 

Interaksi antara atmosfer dan lautan adalah elemen kunci dalam sistem iklim, karena mengontrol transfer energi, panas, dan momentum di batas laut-udara. Mekanisme yang saling terkait ini memengaruhi variasi cuaca dan iklim di berbagai skala ruang, berdampak pada fenomena yang berkisar dari siklon tropis hingga osilasi intramusim. Penelitian terbaru menyoroti bahwa interaksi antara udara dan laut muncul dalam berbagai skala, mulai dari front samudera pusaran dan mesoskala hingga fenomena skala cekungan yang saling terkait seperti El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Madden-Julian Oscillation (MJO) (Seo, 2023; DeMott et al., 2015). Pemahaman menyeluruh mengenai interaksi ini sangat krusial untuk memperbaiki ramalan iklim serta prediksi submusiman hingga musiman (S2S).

Prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasar interaksi udara-laut bersumber pada pertukaran fluks di atas permukaan laut. Fluks radiasi (gelombang pendek dan gelombang panjang), fluks panas laten terkait penguapan, serta fluks panas secara kolektif berperan dalam penilaian termal lapisan campuran laut, yang selanjutnya memengaruhi suhu permukaan laut (SST). Variasi SST secara signifikan berdampak pada konveksi atmosfer dan penyebaran kelembaban, menciptakan mekanisme umpan balik saling terkait antara laut dan atmosfer (Sun et al., 2016; Fu et al., 2017). Contohnya, anomali pemanasan dari lapisan campuran laut meningkatkan penguapan permukaan dan meningkatkan energi statis lembap di dalam lapisan batas, sehingga mendorong konveksi internal. Sebaliknya, keberadaan awan dan hujan yang intens dapat menurunkan radiasi matahari yang diterima, sehingga menyebabkan penurunan suhu permukaan laut. Dinamika ini menunjukkan bahwa interaksi laut-atmosfer yang bervariasi di berbagai daerah dipengaruhi oleh dinamika setempat, kedalaman lapisan campuran, dan gangguan atmosfer.

Di daerah tropis, hubungan antara SST dan konveksi memberikan dampak yang signifikan pada variabilitas intraseasonal. MJO, yang ditandai dengan rentang waktu 30 hingga 60 hari, menunjukkan bagaimana interaksi antara udara dan laut berperan dalam mempertahankan serta menyebarluaskan konveksi terorganisir di seluruh kawasan Indo-Pasifik yang hangat hingga menyentuh Pasifik Tengah. Berbagai studi telah menampilkan bahwa integrasi umpan balik laut interaktif sangat krusial untuk simulasi MJO yang realistis, terutama terkait dengan propagasi ke arah timur dan dampaknya terhadap variabilitas curah hujan (DeMott et al., 2015; Kim et al., 2018). Selain MJO, interaksi terintegrasi ini juga berpengaruh pada pola curah hujan tropis seperti Zona Konvergensi Intertropis (ITCZ) dan Zona Konvergensi Pasifik Selatan (SPCZ), menegaskan pentingnya iklim yang luas dari umpan balik atmosfer laut (Fu et al., 2017).

Walaupun terdapat kemajuan signifikan, tantangan masih ada dalam merepresentasikan proses terintegrasi dengan efektif di berbagai wilayah tropis. Data pengamatan menunjukkan bahwa makna relatif dari kekuatan laut dibandingkan atmosfer bervariasi antara area Indo-Pasifik dan Pasifik Tengah yang hangat; meskipun demikian, banyak model terpadu masih menunjukkan kecenderungan dalam menangkap perbedaan regional ini (Seo, 2023). Akibatnya, telah muncul diagnostik yang berfokus pada proses, melampaui sekadar korelasi, dengan penekanan pada siklus hidup konveksi dan prediksi termal pada lapisan campuran. Metode semacam itu mampu memberikan pemahaman mendalam mengenai munculnya variabilitas yang saling terkait dan perbedaannya secara regional, sehingga meningkatkan ketepatan model dan kemampuan prediksi (Wolding et al., 2022).

Skala Musiman dan Intraseasonal Tropis pada Interaksi Laut-Atmosfer

Interaksi laut-atmosfer di daerah tropis terjadi pada dua skala waktu yang saling terkait, yaitu musiman dan intraseasonal. Pada skala musiman, variabilitas suhu permukaan laut (SST) seperti El Niño–Southern Oscillation (ENSO) berperan besar dalam mengendalikan distribusi presipitasi tropis. Di wilayah Pasifik timur, curah hujan berkorelasi langsung dengan puncak anomali SST, sedangkan di kolam hangat Indo-Pasifik, puncak curah hujan umumnya tertinggal dari puncak SST, mencerminkan keterlambatan respon atmosfer terhadap perubahan kondisi laut Trenberth & Shea, 2005; Kumar et al., 2013 dalam Takano et al., 2024. Pada skala intraseasonal (20–90 hari), dinamika lebih banyak dipengaruhi oleh fenomena seperti Madden–Julian Oscillation (MJO) dan gelombang tropis ekuatorial. MJO sendiri merupakan fenomena konvektif skala besar yang bergerak dari Samudra Hindia ke arah Samudra Pasifik dengan kecepatan rata-rata 5 m/s, menghasilkan pola propagasi kelembapan dan konveksi yang memodulasi hujan tropis Zhang, 2005. Fenomena ini menunjukkan pola lag yang serupa dengan variabilitas musiman, yaitu presipitasi sering tertunda dibanding anomali SST, karena pengaruh interaksi radiasi awan, adveksi uap air, dan pendinginan angin terhadap lapisan laut atas. Takano et al., 2024 memperkenalkan metode diagnostik berbasis diagram SST–CWV (Column Water Vapor) untuk menilai evolusi interaksi atmosfer-laut di skala intraseasonal. Hasilnya menunjukkan perbedaan regional yang signifikan di kolam hangat Indo-Pasifik, maksimum SST mendahului puncak kelembapan atmosfer, sedangkan di Pasifik tengah, hubungan fase keduanya berbeda. Analisis anggaran panas yang mereka lakukan mengungkapkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh variasi proses atmosfer seperti fluks radiasi awan, penguapan oleh angin, hingga pencampuran laut akibat upwelling. Temuan ini menegaskan bahwa bias dalam representasi intraseasonal pada model iklim akan berdampak langsung pada akurasi prediksi musiman, sehingga pemahaman mekanisme intraseasonal menjadi kunci untuk meningkatkan keandalan proyeksi iklim tropis Takano et al., 2024.

Keterbatasan Metode Korelasi Lead-Lag dan Simultan dalam Analisis Interaksi Regional Atmosfer-Laut

Korelasi lead-lag dan korelasi simultan antara curah hujan dan suhu permukaan laut (SST) merupakan metode yang umum digunakan untuk mengeksplorasi interaksi atmosfer-laut di berbagai skala waktu, baik musiman maupun intraseasonal. Namun, metode ini memiliki keterbatasan dalam penerapannya secara regional karena karakteristik variabilitas atmosfer-laut berbeda di setiap wilayah. Sebagai contoh, di Pasifik timur, korelasi simultan antara curah hujan dan SST sangat jelas akibat osilasi El Nino-Selatan, sedangkan di kolam hangat Indo-Pasifik, puncak curah hujan biasanya tertinggal dari puncak SST, menunjukkan adanya perbedaan dalam hubungan waktu antara keduanya. Selain itu, pada skala intraseasonal, puncak presipitasi seringkali tertinggal dari puncak SST di kolam hangat Indo-Pasifik, yang mungkin terkait dengan osilasi Madden-Julian dan monsun Asia. Metode ini juga digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model iklim dalam mereproduksi variabilitas curah hujan dan SST tropis, namun hasilnya menunjukkan bahwa hubungan lead-lag dan simultan ini sangat bergantung pada kondisi regional dan skala waktu tertentu. Oleh karena itu, penerapan metode ini secara global tanpa memperhatikan karakteristik regional dapat menyebabkan interpretasi yang tidak akurat, sehingga diperlukan pengembangan metode diagnostik yang mampu menggambarkan perbedaan regional secara lebih rinci dan spesifik. Roxy et al. (2013) menekankan bahwa pola hubungan presipitasi dan SST di Samudra Hindia sangat dipengaruhi oleh variabilitas intraseasonal dan interannual, sehingga pendekatan berbasis korelasi tunggal sering kali tidak cukup untuk menangkap kompleksitas interaksi atmosfer-laut di wilayah tropis.

Metode Diagnostik dalam Implikasi bagi Prediksi Iklim

Metode diagnostik ini berkaitan dengan interaksi antara atmosfer dan lautan pada jangka waktu sub-musiman mencakup strategi analitis yang digunakan untuk menjelaskan dinamika kausal di antara variabel fisik, seperti suhu permukaan laut (SST) dan uap air kolom (CWV). Pendekatan ini tidak hanya mengeksplorasi korelasi satu arah belaka atau analisis lead-lag yang sederhana, alih-alih menyelidiki pola evolusi bersama antara variabel melalui representasi grafis atau vektor tren. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan telah menggunakan metodologi yang serupa, yaitu dengan meneliti keterkaitan antara SST dan presipitasi melalui korelasi temporal pada nol lag dan berbagai interval lag di Maluku Utara. Penelitian yang dilakukan oleh BMKG oleh (Siswanto, Kusmanto, & Rahayu, 2019), digunakan metode diagnostik ini dalam memahami interaksi kritis atmosfer dan lautan yang membuktikan pemicu fenomena seperti pembentukan pusat tekanan rendah akibat kolam air hangat (<28 °C) yang meningkatkan konektivitas atmosfer diatasnya. Temuan ini mengungkapkan hubungan timbal balik (dua arah) antara variabel samudera dan atmosfer, dengan ambang signifikansi melebihi 95%. Akibatnya, pendekatan diagnostik ini memungkinkan peneliti untuk membedakan pola interaksi rumit yang tidak hanya linier, tetapi juga menggambarkan arah dan besarnya hubungan antar variabel.

Metode analisis interaksi laut–atmosfer dapat diaplikasikan melalui model kopel dengan menghubungkan variabel SST, angin, dan gelombang contohnya penggunaan model COAWST–ADCIRC yang menunjukkan bahwa perubahan SST dan angin permukaan dapat memicu peningkatan kecepatan angin hingga 3,0–4,5 m/s dan gelombang hingga 0,6 m, memicu potensi rob di pesisir Kepulauan Tanimbar (Pratama, Siadari, & Pratama, 2024). Hal ini menunjukkan aplikasi serupa dengan metode diagnostik dalam menangkap evolusi dan dampak interaksi SST-atmosfer secara kuantitatif.

Urgensi dalam pengembangan pengamatan sistematis interaksi laut–atmosfer dengan metode diagnostik ini ditegaskan dalam upaya meningkatkan akurasi prediksi iklim jangka pendek hingga musiman. BMKG menyatakan bahwa laut adalah kunci utama dalam perubahan iklim, dan integrasi data pengamatan laut dan atmosfer sangat krusial untuk memperkuat sistem prakiraan dan proyeksi iklim (Dwikorita, 2025). Hal ini mendukung pengembangan metode diagnostik SST–CWV yang lebih reflektif terhadap kondisi fisik nyata dan dibutuhkan untuk meningkatkan keandalan model prakiraan.

Writer : Ocean-Atmosphere Interaction Bureau

Leave a Reply