Kebijakan Perlindungan Keanekaragaman Hayati: Apakah Sudah Melindungi?

Oleh: Annaura Jasmine S. R.

Indonesia sebagai negara mega biodiversity yang saat ini menampung beragam Sumber Daya Alam (SDA) terutama kelimpahan sumber daya perairan tercatat memiliki 8.500 spesies ikan dimana 37% spesies dunia terdapat di laut Indonesia. Yang menjadi sorotan adalah hadirnya 950 spesies terumbu karang yang tercatat sebanyak 48% spesies terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. Faktanya peringkat kedua dari biodiversitas spesies ikan di dunia dipegang oleh Indonesia. Masih banyak lagi spesies biota laut Indonesia yang melimpah bahkan diantaranya termasuk langka. Diantara ragamnya kekayaan organisme yang dimiliki oleh Indonesia, terdapat jenis endemik dalam area konservasi tertentu yang dapat menjadi indikator bahwa perlindungan dan pengelolaan berjalan dengan baik juga berkelanjutan. Perlindungan dan pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati maupun ekosistem memiliki pilar terpenting yang patut dijadikan perhatian negara Indonesia yang sudah mendapatkan gelar sebagai negara megabiodiversity yaitu mengenai perlindungan terhadap jenis flora dan fauna yang dimilikinya. Dalam hal ini, kawasan konservasi menjadi bintang utama saat membahas perihal baik atau tidaknya bahkan keberlanjutan dari perlindungan dan pengelolaan flora dan fauna di Indonesia.

Kebijakan Internasional Bagi Keberlangsungan Spesies

Terdapat banyak kebijakan yang sudah dirancang agar secara spesifik memperhatikan perlindungan dan perdagangan spesies yang dilindungi hingga pengelolaan kawasan konservasi dan pemanfaatannya. Secara internasional, perlindungan dan perdagangan spesies yang dilindungi diatur dalam Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973 dan Red List of Threatened Species IUCN. Kategori status konservasi IUCN Red List digunakan oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) untuk mengklasifikasikan spesies yang terancam punah. Status konservasi ini dirangkap dalam IUCN Red List of Threatened Species atau IUCN Red List. Pada keduanya, spesies fauna dikategorikan menjadi beberapa jenis, dari mulai yang tertinggi yaitu terancam punah hingga yang populasinya masih dipantau. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani konvensi CITES. Dalam pelaksanaannya, setiap negara yang menjadi anggota konvensi diharuskan untuk melakukan pencatatan akan perdagangan satwa atau tumbuhan yang termasuk ke dalam kategori yang sudah ditentukan secara rutin.

Kebijakan Tingkat Nasional Sebagai Upaya Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi

CITES telah diratifikasi oleh Indonesia dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 yang menyatakan untuk mengesahkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, berisi tentang perjanjian internasional yang ditandatangani oleh 184 pihak pada tahun 1973, yang dirancang untuk memastikan bahwa perdagangan internasional hewan dan tumbuhan tidak mengancam kelangsungan hidup mereka di alam liar. Ada pula kebijakan lainnya yang juga memperhatikan kawasan konservasi diantaranya:

  1. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar untuk beberapa kegiatan tertentu dengan kondisi dan prasyaratan yang diizinkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

CITES mengatakan bahwa setiap negara anggota diwajibkan untuk memiliki legislasi nasional yang mampu untuk melarang perdagangan spesimen yang melanggar ketentuan konvensi dengan memberikan hukuman serta menyita spesimen yang diperdagangkan atau dimiliki secara ilegal. Dari konvensi tersebut juga ditekankan bahwa negara anggota diharuskan untuk membentuk dua lembaga yaitu otoritas manajemen atau management authorities yang bertugas untuk mengatur skema ekspor dan impor satwa dan tumbuhan yang boleh diperdagangkan. Juga otoritas keilmuan atau scientific authorities yang bertugas untuk memberikan kajian dan pertimbangan keilmuan terhadap penentuan kuota satwa dan tumbuhan yang diizinkan untuk diperdagangkan. Indonesia menunjuk Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (Dirjen KSDHE) dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai otoritas manajemen. Sedangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berperan sebagai otoritas keilmuan.

Satwa Masih Tidak Aman di Bawah Kebijakan Indonesia

Banyaknya sumber daya alam hewani di Indonesia menjadikan banyaknya pula kasus eksploitasi satwa liar yang tentu menjadi ancaman bagi kelestarian dan keberlangsungan satwa terutama yang berada di kawasan konservasi. Tercatat pada 23 Januari 2023 sudah ada 372 kasus kejahatan satwa liar yang dilindungi. Dengan ini, telah terbukti bahwa pelaksanaan Pasal 91B UU Nomor 41 Tahun 2014 dan Pasal 320 ayat (1) KUHP masih belum maksimal. Terbukti pula dengan hadirnya daftar panjang dari IUCN dari satwa liar yang terancam punah di Indonesia. Aktivitas eksploitasi hewan merupakan ancaman bagi konservasi dan pembangunan berkelanjutan bagi spesies hewan. Rendahnya kesadaran masyarakat menjadi faktor utama maraknya perdagangan satwa liar yang dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Maraknya bentuk kejahatan yang berkaitan dengan perdagangan satwa liar pada akhirnya berkembang menjadi kejahatan terorganisir dan kejahatan transnasional terorganisir.

Hewan laut pun terancam punah di tengah banyaknya upaya konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati yang ada. Salah satu spesies endemik yang terancam punah adalah hiu berjalan. Hiu berjalan atau walking shark yang merupakan ikan endemik perairan Papua dan Maluku. Walaupun bukan menjadi target konsumsi masyarakat, perburuannya meningkat untuk keperluan ikan hias karena daya tariknya yang menarik perhatian penyelam. Berdasarkan data yang dirilis oleh DIrektorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP menunjukkan dua spesies ikan hiu sudah mulai memasuki kategori Hampir Terancam atau Near Threatened. Dari kasus ini pemerintah memutuskan untuk memberi status perlindungan yang sesuai dengan Permen KP Nomor 49/PERMEN-KP/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/PERMEN-KP/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Namun, bagaimana dengan perlindungan bagi spesies lainnya?


Hadirnya kebijakan internasional didukung oleh lahirnya banyak kebijakan nasional yang berlapis membuktikan bahwa negara telah berupaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang dimiliki agar tetap terjaga kelangsungan hidupnya. Namun, banyaknya kasus yang terjadi terutama pada keanekaragaman hayati yang ada di kawasan perairan membuktikan, dari sekian banyaknya kebijakan yang telah dirancang, tetap tidak menjamin spesies di Indonesia tetap lestari. Adanya ancaman hukuman seperti yang tertuang dalam Pasal 40 UU Nomor 5 Tahun 1990 mengenai pidana penjara paling lama 5 tahun dengan denda paling banyak Rp 100.000.000 bagi mereka yang melakukan kejahatan atas tumbuhan dan satwa liar pun hingga saat ini pelaksanaannya di lapangan terpantau tak efektif. Pasalnya, banyak pengadilan yang masih lengah sehingga disini lembaga peradilan dinilai belum mempertimbangkan aspek kerugian ekologi akibat hilangnya satwa endemik Indonesia. Kerusakan ekologis akibat adanya eksploitasi satwa di Indonesia merupakan akar dari kerusakan ekosistem, kepunahan spesies endemik, ancaman penyakit bagi satwa lain dan manusia, hingga timbulnya kerugian ekonomi bagi sektor perekonomian Indonesia. Tersebarnya kawasan konservasi di Indonesia bersamaan dengan banyaknya penurunan spesies satwa menjadi pertanyaan besar, apakah sejauh ini kebijakan yang secara spesifik dibuat untuk melindungi beragam spesies sudah benar-benar melindungi dan menghentikan ancaman akan punahnya keanekaragaman hayati yang menjadi indikator kualitas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.

Leave a Reply