Terowongan Bawah Laut dan Kegunaannya di Landas Kontinen

Oleh : Nabilla Azka Putri

Sebelum tahun 1945 berlalu, Landas Kontinen hanya diakui secara nasional melalui undang-undang negara pantai yang menjalankan yurisdiksi mereka jauh di luar laut teritorial. Pada masa itu pula, pengajuan klaim yang setiap negara pantai lakukan atas luas wilayah Landas Kontinen mereka seringkali berakhir dengan permasalahan sengketa dan perseteruan dengan negara pantai lainnya dalam kepentingan komersial seperti tunneling atau pembuatan terowongan bawah laut. Secara konseptual, immersed Tunnel atau terowongan bawah laut merupakan jenis terowongan bawah air yang terdiri atas beberapa segmen ruang kedap dan dibangun melayang di lokasi terowongan yang nantinya  ditenggelamkan lalu dihubungkan satu sama lain sehingga memiliki kegunaan yang aplikatif dalam keperluan penyeberangan wilayah laut minim resiko pencemaran.

Immersed Tunnel di Landas Kontinen dan Pembangunan IKN

Menghadapi konsep pembangunan IKN di Kalimantan, Satuan Tugas (Satgas) Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) akan menyiapkan terowongan dengan mengadopsi teknologi immersed tunnel atau terowongan bawah laut yang bermanfaat dalam penyeberangan Teluk Balikpapan di IKN Nusantara. Sebenarnya, alternatif lain yang dapat dipilih oleh pemerintah dalam membuat akses penyeberangan selain immersed tunnel atau terowongan bawah laut adalah dengan pembangunan jembatan. Akan tetapi, setelah menempuh studi kelayakan atau feasibility studies, pemerintah menyatakan bahwa wilayah di sekitar pembangunan merupakan tempat tinggal bagi berbagai makhluk hidup yang berpotensi mengalami kerusakan apabila pembangunan jembatan dilakukan. Inilah sebabnya pembangunan terowongan bawah laut dipilih sebagai konsep yang paling efektif dalam mengeksekusi nilai manfaat sekaligus nilai kelestarian yang mumpuni.

Pembangunan Immersed Tunnel Menurut UNCLOS 1958 & 1982

United Nations Conference on the Law of the. Sea (UNCLOS I) Tahun 1958 Pasal 7 menjamin hak penuh bagi seluruh negara pantai untuk melakukan eksploitasi tanah di bawah dasar laut yang berdekatan dengan pantainya dengan jalan pembuatan terowongan (tunneling) dari daratan. Melalui jaminan ini, setiap negara negara pantai secara otomatis berhak untuk mengeksploitasi tanah di bawah landas kontinen mereka dengan melakukan penggalian tanpa memandang dan mengkhawatirkan tentang kedalaman perairan di atas tanah di bawah landas kontinen tersebut. Artinya, selama wilayah dasar perairan itu secara sah masuk kedalam landas kontinen dari suatu negara yang melakukan tunneling, maka kedalaman perairan bukanlah pertimbangan lain yang menciptakan syarat atau batasan tertentu yang harus dipenuhi sebelum proyek dilaksanakan.

Gambaran Immersed Tunnel
Sumber: Haito et al., 2017

United Nations Conference on the Law of the. Sea (UNCLOS II) Tahun 1982 Pasal 81 menyatakan dengan lugas bahwa setiap negara pantai memiliki hak khusus (exclusive) untuk membuat terowongan serta berhak secara penuh untuk memberikan izin dan mengatur pengeboran di landas kontinennya atas pemenuhan kepentingan seluruh tujuan negara. Lebih lanjut lagi, jaminan ini dipertegas dalam United Nations Conference on the Law of the. Sea (UNCLOS II) Tahun 1982 Pasal 85 yang menyatakan dengan lugas bahwa “Rezim hukum Landas Kontinen tidak mengurangi hak-hak berdaulat Negara pantai melakukan penggalian terowongan tanpa memandang kedalaman perairan di atas tanah di bawah Landas Kontinen”. 

Meskipun kedalaman perairan di atas tanah di bawah Landas Kontinen tidak tergolong menjadi bahan pertimbangan tambahan, kestabilan aktivitas di sekitar lokasi proyek pembangunan terowongan bawah laut tetap menjadi prioritas utama yang harus dikaji sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Pasal 32 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia.”
Penerapan dari jaminan hukum internasional terkait terowongan bawah laut hendaknya diharmonisasikan dengan dinamika sistem hukum nasional yang berlaku. Dalam hal ini, rencana pembuatan terowongan bawah laut hendaknya bersifat wajib untuk dilaporkan terlebih dahulu kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertambangan. Adapun penyampaian rencana dilakukan untuk memperoleh persetujuan dan dengan seizin Menteri yang bersangkutan karena ketika pembangunan sudah dilakukan, maka akan ada peninjauan secara intens yang dilakukan terhadap lingkungan sekitar lokasi proyek. Aktivitas penangkapan ikan dan dampak buruk terhadap makhluk hidup di sekitar lokasi yang memiliki kemungkinan untuk terjadi menjadi bahan pertimbangan menteri dalam memberikan izin terhadap para stakeholder terkait.

Leave a Reply