Kebijakan Maritim Indonesia: Mengatasi Penangkapan Ikan Ilegal dan Dampaknya pada Nelayan Lokal

Oleh : Bintang Azahra

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 3,25 juta kilometer persegi wilayah laut, memiliki tantangan besar dalam menjaga sumber daya maritim. Salah satu masalah utamanya adalah Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing), atau penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Aktivitas ini tidak hanya merugikan ekosistem laut, tetapi juga berdampak serius pada kesejahteraan nelayan lokal serta ekonomi nasional.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), aktivitas IUU Fishing di tingkat global menyebabkan kerugian sebesar 26 juta ton ikan per tahun dengan nilai ekonomi mencapai USD 23 miliar. Di Indonesia, kapal-kapal asing seringkali memanfaatkan celah hukum untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Aktivitas ini dilakukan tanpa izin dan melanggar peraturan pengelolaan perikanan, mengancam keberlanjutan sumber daya laut dan menimbulkan ketidakadilan bagi nelayan kecil. Selain itu, tingginya permintaan ikan secara global memperburuk masalah ini. Permintaan yang terus meningkat untuk ikan seperti tuna membuat tekanan terhadap stok ikan semakin besar. Hal ini menyebabkan eksploitasi berlebihan yang mempercepat penurunan sumber daya laut.

Upaya Kebijakan Penanggulangan IUU Fishing

Untuk mengatasi IUU Fishing, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan, termasuk langkah tegas berupa penenggelaman kapal asing yang tertangkap melakukan penangkapan ilegal. Langkah ini dilakukan berdasarkan aturan hukum yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Sebagai contoh, pada tahun 2015, pemerintah menenggelamkan kapal-kapal berbendera Vietnam dan Thailand yang terbukti melakukan penangkapan ilegal di perairan Indonesia.

Selain itu, larangan transshipment—atau pemindahan hasil tangkapan ikan di laut—diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 57 Tahun 2014. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah manipulasi data tangkapan ikan dan memastikan hasil tangkapan dilaporkan secara transparan. Larangan ini melindungi nelayan kecil dari ketidakstabilan harga yang sering terjadi akibat aktivitas transshipment. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan tantangan karena infrastruktur perikanan di banyak daerah belum memadai untuk mendukung sistem pelaporan hasil tangkapan.

Pada tahun 2023, pemerintah memperkenalkan kebijakan penangkapan ikan berbasis kuota yang diatur melalui PP No. 11 Tahun 2023. Kebijakan ini bertujuan untuk mengelola stok ikan secara berkelanjutan dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor perikanan. Sistem kuota ini diberlakukan di enam zona penangkapan ikan yang mencakup kesebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi nelayan industri, lokal, dan non-komersial, sementara nelayan kecil dikecualikan. Langkah ini diambil untuk mengurangi tekanan pada stok ikan dan memberikan perlindungan lebih kepada nelayan kecil. Meski demikian, kebijakan ini menuai kritik, terutama terkait kurangnya transparansi, kesadaran nelayan akan peraturan baru, dan minimnya infrastruktur pendukung.

Menurut laporan Ombudsman RI dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, banyak nelayan, pemilik kapal, dan perusahaan perikanan belum sepenuhnya memahami kebijakan baru ini. Selain itu, mekanisme pelaporan hasil tangkapan yang bersifat sukarela dikhawatirkan dapat menghasilkan data yang tidak akurat, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan stok ikan.

Dampak Kebijakan terhadap Nelayan Kecil

Meski berbagai kebijakan telah diterapkan, dampaknya terhadap nelayan kecil belum sepenuhnya optimal. Nelayan kecil seringkali terjebak dalam kemiskinan karena akses yang terbatas terhadap pasar, pelatihan, dan teknologi. Berdasarkan data 2017, dari 2,7 juta nelayan di Indonesia, sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, upaya pemerintah melalui subsidi alat tangkap, bantuan perahu, dan pelatihan menjadi penting untuk mendukung pemberdayaan ekonomi mereka. Namun, kebijakan seperti larangan transshipment dan sistem kuota dapat secara tidak langsung mempengaruhi nelayan kecil. Ketidakmampuan nelayan kecil untuk bersaing dengan nelayan industri yang lebih besar masih menjadi masalah yang harus diatasi. Selain itu, disparitas harga ikan di pasar lokal sering kali tidak menguntungkan nelayan kecil, terutama di daerah terpencil.

Kebijakan maritim Indonesia dalam menangani IUU Fishing menunjukkan komitmen besar terhadap keberlanjutan sumber daya laut dan kedaulatan wilayah perairan. Langkah seperti penenggelaman kapal dan larangan transshipment merupakan tindakan konkret untuk mengatasi eksploitasi ilegal. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada koordinasi lintas sektor, transparansi, dan dukungan terhadap nelayan kecil. Pemerintah harus terus memperbaiki mekanisme kebijakan, meningkatkan kesadaran stakeholder, dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

#MCPRDailyNews

Leave a Reply