Oleh : Alfianu Adhi Riztiawan
Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang indah dan melimpah, mulai dari flora hingga faunanya. Namun sangat disayangkan terdapat banyak pihak yang menyalahgunakan kekayaan alam tersebut untuk tujuan yang merugikan. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan kejahatan memperjual belikan anggota tubuh satwa langka. Akibatnya, populasi satwa langka di Indonesia terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, tercatat bahwa jumlah spesies hewan yang berada dalam ancaman punah mencapai 16.900 spesies pada tahun 2022. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 2,55% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatat sebanyak 16.479 spesies. Jika dilihat dari tren dalam satu dekade terakhir, jumlah hewan yang terancam punah terus mengalami peningkatan. Terjadi peningkatan terbesar pada tahun 2020 sebesar 8,76%.
Dilihat dari kelompoknya, terdapat sekitar 10.739 spesies vertebrata yang berada dalam ancaman punah pada tahun 2022. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 2,89% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatat sebanyak 10.437 spesies. Jika dijabarkan secara rinci, kelompok ikan menjadi yang paling banyak terancam punah pada tahun 2022, mencapai 3.551 spesies. Selain itu, terdapat 2.606 spesies amfibi, 1.842 spesies reptil, 1.400 spesies burung, dan 1.340 spesies mamalia yang juga berada dalam ancaman punah.
Predator sebagai Penyeimbang Ekosistem
Sebagai suatu bagian dari komponen ekosistem, predator, baik sebagai individu maupun dalam kelompok, memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Secara umum, beberapa spesies predator berperan sebagai konsumen primer dalam piramida makanan, sementara jenis lainnya berperan sebagai konsumen sekunder, tersier, dan seterusnya.
Oleh karena itu, keberlangsungan hidup predator tersebut saling bergantung satu sama lain, dan penurunan populasi salah satunya akan memiliki dampak negatif pada keseimbangan ekosistem lingkungan. Dengan jelas dapat dilihat bahwa ketiadaan salah satu jenis predator akan menjadi pemicu masalah, khususnya dalam konteks ekologi.
Satwa yang menduduki posisi teratas dalam piramida makanan, seperti predator, memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kehilangan suatu spesies yang berperan sebagai predator utama akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap kestabilan ekosistem dibandingkan dengan kehilangan spesies lainnya. Ini disebabkan oleh peran top predators dalam mengendalikan populasi berbagai jenis hewan mangsa. Misalnya saja pada ekosistem laut, khususnya pada kawasan arctic, jika paus orca tidak ada, populasi silverfish, leopard seal hingga plankton akan berkembang pesat karena tidak ada pemangsa yang mengendalikan pertumbuhan populasi mereka. Terlebih, jika salah satu spesies tersebut mengalami kepunahan, maka penduduk sekitar akan terserah hama dan akan lebih banyak lagi kerugian yang ditimbulkan.
Faktor Banyaknya Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Satwa
Sebagai contoh, di Indonesia sendiri, ada kerja sama antara kelompok pemburu dan penadah dalam berburu dan menjual penyu hijau. Meskipun mereka berasal dari kelompok yang berbeda, mereka saling bekerjasama daripada bersaing. Mulai dari pemburu, pengepul, pedagang, pemodal, hingga petinggi dalam jaringan perdagangan ilegal penyu hijau tersebut. Masyarakat masih kurang memahami pentingnya pelestarian ekosistem penyu. Namun, masyarakat lebih cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi karena potensi keuntungan yang diperoleh dari penjualan dari penyu hijau..
Selain minimnya kesadaran masyarakat terhadap larangan perbuatannya, penegakan hukum juga merupakan faktor yang menyebabkan masih banyaknya kasus pembunuhan hewan pada ekosistem laut dan perdagangan bagian tubuhnya. Contohnya, dalam kasus penjualan bagian tubuh satwa dilindungi seperti sirip ikan hiu hingga karapas penyu, harga penjualan dapat mencapai ratusan hingga miliaran rupiah dalam satu kasus. Namun, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) menjelaskan bahwa ketentuan pidana yang termaktub dalam aturan tersebut tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang masih mendorong terjadinya kejahatan ini adalah kelemahan dalam sistem hukum yang belum memberikan efek jera kepada para pelaku.
Meningkatnya aktivitas perdagangan satwa, minimnya kesadaran masyarakat, hingga pada penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera membuat UU Nomor 5 tahun 1990 perlu dilakukan pembaharuan. Selain alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, perlunya pembaharuan terhadap kebijakan tersebut adalah karena saat ini ada beberapa satwa yang dinyatakan hampir punah belum dilindungi undang-undang, serta kebijakan yang dinilai sudah lawas menjadi salah satu faktor lainnya mengapa perlunya pembahasan terkait RUU KSDHE.