Oleh : Rangga Adithya Mulya
Indonesia merupakan suatu negara yang masyarakatnya masih menganut kepercayaan tradisional peninggalan leluhurnya atau yang biasa disebut dengan konservatif. Tak jarang masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang menempati area gunung halimun-salak masih mempertahankan sistem tradisional peninggalan leluhurnya.
Masyarakat suku Buton awalnya berasal dari imigran yang datang dari Semanaajung Johor di Malaka sekitar abad 15 dan kemudian mendirikan kerajaan Buton. Dimana ada 4 tokoh penting yang membangun suku ini merupakan yaitu Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati, dan Simalui yang diyakini menjadi nenek moyang suku Buton.
Masyarakat suku buton percaya bahwasannya nenek moyang yang telah menemukan Kawasan tersebut merupakan rahmat yang patut untuk dijaga dan dilestarikan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan adalah milik negara (state property) dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/KEPMEN-KP/2015. Surat keputusannya diterbitkan pada tanggal 16 Juni 2015. Dimana Luas wilayah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Buton (KKPD) Kabupaten Alor adalah 27.669,345 Hektare.
Konflik Masyarakat Adat dengan Pihak Berwenang
Permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah tidak tahu bahwa daerahnya sudah termasuk dalam Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang menyebabkan Masyarakat adat Buton tidak diberikan hak bersuara dalam program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) dimana sebagai masyarakat yang sudah menempati wilayah tersebut dari abad 15 sudah sepatutnya masyarakat adat dilibatkan dalam program COREMAP tersebut. Tidak menyebarnya informasi terkait pembuatan DPL dan COREMAP membuat masyarakat adat Buton tidak mengetahui perkembangan dan regulasi yang berlaku pada saat ini.
Pada dasarnya masyarakat adat memiliki hukum dimana dapat melaut kapan saja dimana saja dan dapat berhenti kapan saja. Dengan dibuatnya regulasi DPL ini membatasi pergerakan masyarakat adat untuk memanfaatkan sumber daya ikan yang ada. Pada dasarnya DPL bukanlah sebuah desentralisasi hak pengelolaan perikanan masyarakat (decentralization of property rights in marine fisheries) menyebabkan praktik konservasi laut masih sentralistik yang membatasi akses masyarakat adat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan.
Terlebih lagi Program COREMAP sudah dianggap menjadi ajang proyek elit masyarakat. Pengembangan COREMAP di tingkat masyarakat tidak semakin memperkuat keterlibatan masyarakat adat dalam pembuatan keputusan. Hal ini dapat dilihat Program COREMAP lebih terfokus pada kegiatan administrasi proyek dan bukan pendampingan masyarakat.
Langkah Penyelesaian Konflik
Dibuatnya peraturan desa yang mengatur tata Kelola lingkup laut untuk tetap mempertahankan adat dan budaya serta memastikan keterlibatan seluruh masyarakat, walaupun sudah diakui oleh pemerintah faktanya peraturan desa ini tidak bisa dianggap sebagai peraturan yang sah yang menyebabkan Daerah DPL dan COREMAP tidak memiliki batas wilayah adat yang artinya hukum dan budaya adat tidak berlaku pada daerah DPL dan COREMAP tersebut.
Walaupun pihak penyelenggara COREMAP sudah membuat Community Facilitator (CF) sebagai pendamping masyarakat faktanya peran dan fungsi CF ini tidak berjalan melihat banyak sekali masyarakat adat Buton yang tidak mengetahui keberlangsungan pembuatan wilayah DPL dan program COREMAP.
Sebagai negara konservatif yang sangat kental dengan adat dan budayanya sudah sepatutnya pihak penyelenggara COREMAP dan DPL memberikan suara pada masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pembuatan program COREMAP dan wilayah DPL.