Oleh: Annaura Jasmine S. R.
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa area perairan merupakan bagian terluas di muka bumi yang menyimpan banyak sumber daya untuk dimanfaatkan. Bagi manusia, laut sudah memiliki peranan besar di berbagai aspek seperti penunjang dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, perdagangan, ekonomi, bisnis, investasi bahkan hingga pertukaran budaya. Luasnya area dengan banyak potensi mendorong situasi yang mengharuskan hadirnya hukum agar dapat mengatur pemanfaatan ruang laut. Hal tersebut dilakukan agar seluruh potensi dapat dimanfaatkan dengan bijak. Dengan demikian lahirlah hukum internasional dengan kontribusi besar dalam penciptaan keadilan bagi setiap negara dengan diaturnya beragam aktivitas pemanfaatan laut. Salah satu upaya agar terciptanya pemerataan keadilan, yang saat ini menjadi bagian dasar laut adalah dihasilkannya Konvensi Hukum Laut Internasional atau dikenal juga dengan UNCLOS 1982. Konvensi Jenewa 1958 tentang hukum laut yang hadir sebelum adanya UNCLOS 1982 membuktikan keseriusan dunia untuk memantau keadilan pemanfaatan ruang laut. Meski demikian, permasalahan yang meliputi hukum laut masih banyak ditemukan dan salah satunya mencakup kabel dan pipa bawah laut.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memanfaatkan luasnya area laut yang dimiliki hingga melakukan ekspansi pemanfaatan pemasangan kabel dan pipa bawah laut sebagai bentuk dari aktivitas eksplorasi dan eksploitasi bagi sumber daya yang dimiliki. Kondisi tersebut didukung dengan hadirnya kemajuan teknologi di tengah peradaban manusia hingga banyak inovasi dan temuan di bidang perikanan dan kelautan dengan adanya penggunaan teknologi instalasi bawah laut. Selain itu didukung pula dengan hukum internasional yang memberi legitimasi bagi negara untuk melakukan pemasangan kabel dan pipa bawah laut melalui UNCLOS 1982. Disebutkan dalam UNCLOS 1982 pada pasal 79 ayat 1 menyatakan bahwa semua negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen. Didukung dengan Pasal 79 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara tersebut tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian. Namun hadirnya dua kondisi pendukung ini masih tidak dapat menyokong Indonesia agar dapat melakukan pengelolaan kabel dan pipa bawah laut dengan maksimal.
Kabel Laut di Indonesia
Sebagai salah satu Negara pantai yang melakukan pemanfaatan wilayah laut untuk menjadi tempat dipasangnya kabel dan pipa bawah laut, hingga saat ini, Indonesia tercatat memiliki 217 jalur koridor dan 209 beach main hole dan empat lokasi landing station keluar masuk kabel di perairan Indonesia. Hal tersebut mengacu pada Peraturan Menteri No. 14 Tahun 2021 tentang Kebijakan Alur Pipa dan Kabel Bawah Laut. Dari banyaknya jalur kabel laut yang tercatat ini, dinilai menimbulkan banyak perdebatan. Pasalnya penempatan kabel dan pipa laut tersebut dinilai rumit, ditambah lagi dengan banyaknya kabel laut milik negara lain yang melintasi wilayah teritorial Indonesia.
Tercatat sejak tahun 1999, keberadaan kabel dan pipa bawah laut di perairan Indonesia sudah mengalami banyak masalah. Sebagai contoh pada bulan Oktober tahun 2013, dimana jaringan sistem komunikasi kabel bawah laut yang menghubungkan Indonesia – Singapura milik tiga perusahaan besar yaitu PT Telkom, PT XL Axiata, dan PT Moratelindo mengalami gangguan. Kabel bawah laut yang terletak di Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan itu terputus akibat jangkar kapal yang sering beroperasi secara ilegal di area perairan terebut. Akibatnya, sistem telekomunikasi nasional mengalami gangguan besar dan pelayanan dari ketiga perusahaan besar pengguna jasa jaringan kabel bawah laut tersebut tidak dapat beroperasi secara maksimal. Selain kasus tersebut, penempatan kabel laut di Indonesia belum tertata dengan baik sehingga berpotensi untuk meledak sewaktu-waktu apabila terkena jangkar atau lambung kapal yang melintas di atasnya.
Beberapa realita di lapangan telah membuktikan bahwa pemasangan kabel dan pipa bawah laut di Indonesia masih belum berjalan dengan baik. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adalah Indonesia yang masih belum memiliki regulasi yang ketat, belum adanya koridor hukum yang tegas dalam pengaturan pemanfaatan ruang di dasar perairan laut, dan banyaknya persilangan atau crossing kabel atau pipa di dasar laut. Akan tetapi jika melihat dari kacamata hukum internasional, menurut UNCLOS 1982, tidak ada aturan spesifik yang dicantumkan melainkan hanya sebatas pengaturan secara umum dalam zona maritim. Pengaturan teknis khususnya mengenai penataan diamanatkan oleh UNCLOS untuk diatur oleh hukum nasional.
Perspektif Hukum Internasional
Mengacu pada UNCLOS 1982, kesadaran dunia akan pentingnya permasalahan mengenai kabel bawah laut sudah disadari sejak lama. Kehadiran kabel bawah laut sebagai infrastruktur strategis dunia dianggap harus dilindungi termasuk secara hukum dan sudah dilakukan sejak era kabel telegram dalam International Convention for the Protection of Submarine Cables (ICPSC) pada tahun 1884. Konvensi tersebut menjadi dasar bagi pengaturan kabel bawah laut dalam konvensi berikutnya, termasuk Konvensi Jenewa dan Laut Bebas pada tahun 1958 hingga UNCLOS 1982 itu sendiri. Terbentuknya UNCLOS 1982 memiliki tujuan agar komunikasi internasional semakin mudah sehingga membebaskan pemasangan kabel komunikasi bawah laut. Dengan demikian UNCLOS 1982 mengatur penerapan hak dan kewajiban Negara pantai dan pengguna pada zona maritim yang ada, salah satunya adalah mengatur mengenai pemasangan kabel dan pipa bawah laut pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas Kontinen, dan laut lepas.
Identifikasi substansi dalam UNCLOS 1982 mengenai kebebasan untuk memasang kabel bawah laut di laut lepas dan ZEE mengacu pada Bagian VI UNCLOS tentang Landas Kontinen, spesifiknya tentang kabel bawah laut pada Pasal 79 yang berbunyi:
“Semua Negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen, sesuai dengan ketentuan pasal ini.Tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang wajar untuk eksplorasi landas kontinen, eksploitasi sumber daya alamnya dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari jaringan pipa, Negara pantai tidak boleh menghalangi peletakan atau pemeliharaan kabel atau pipa tersebut. Penetapan jalur untuk meletakkan pipa-pipa di landas kontinen tunduk pada persetujuan Negara pantai.Tidak ada dalam Bagian ini yang mempengaruhi hak Negara pantai untuk menetapkan persyaratan kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, atau yurisdiksinya kabel dan pipa berlebih yang dibangun atau digunakan sehubungan dengan eksplorasi landas kontinennya atau eksploitasi sumber dayanya atau operasi tanah artifisial, instalasi dan bangunan di bawah yurisdiksinya. Ketika memasang kabel atau pipa bawah laut, Negara harus memperhatikan kabel atau pipa yang sudah ada di posisinya. Khususnya, tidak boleh merugikan upaya perbaikan kabel atau jaringan pipa yang sudah ada.“
Jika diperhatikan, hak untuk memasang kabel bawah laut termasuk juga dengan hak untuk memelihara dan memperbaikinya. Dijelaskan juga pada Pasal 79 ayat 2 bahwa Negara pantai tidak boleh menghalangi peletakan atau pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut, namun tunduk pada hak Negara pantai untuk mengambil tindakan wajar bagi aktivitas eksplorasi landas kontinen, eksploitasi sumber daya alam dan pencegahannya, juga pengurangan dan pengendalian pencemaran dari jaringan pipa. “Pencemaran” yang tercantum mengacu pada jaringan pipa dan tidak kabel bawah laut dikarenakan potensi ancaman polusi dinilai tinggi pada jaringan pipa dan tidak pada kabel bawah laut.
Adapun beberapa poin yang perlu diperhatikan seperti pengaturan mengenai kabel dan pipa bawah laut di area laut teritorial diserahkan pada hukum nasional dikarenakan Negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas perairan kepulauan, laut teritorial dan perairan pedalaman yang digunakan untuk pelayaran internasional. Sehingga segala bentuk kebijakan yang menyangkut kabel dan pipa bawah laut akan mengacu sepenuhnya pada kebijakan nasional Negara pantai bersangkutan agar dapat menetapkan segala aturan yang terkait
Adanya kebijakan dalam UNCLOS 1982 yang masih bersifat umum dan kebijakan yang lebih spesifik akan diatur dalam hukum nasional dapat menjadi suatu keuntungan atau kerugian bagi Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kualitas yang dihasilkan dari kebebasan yang diberikan bergantung pada kebijakan yang dibentuk, apakah relevan dan dapat menunjang terpantaunya penataan kabel dan pipa bawah laut yang ada. Sehingga dibutuhkan suatu kebijakan terkait Rencana Tata Ruang Laut Nasional agar dapat memastikan penataan kabel dan pipa bawah laut dapat berjalan dengan optimal. Selain itu pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang yang sudah dibuat merujuk pada UNCLOS 1982.
Peninjauan ulang harus dilakukan terhadap keberadaan kabel dan pipa bawah laut terutama di area Landas Kontinen dan ZEE agar sesuai dengan standar pemasangan yang telah diatur. Hal tersebut selaras dengan beberapa pasal yang sudah disebutkan sebelumnya yang menjadikan Indonesia harus memastikan bahwa penempatan pipa dan kabel bawah laut sudah tertata dengan baik. Dengan penempatan pipa dan kabel bawah laut yang baik, dapat mengurangi resiko terjadinya gangguan yang dapat merugikan banyak pihak seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Selain itu, dengan penempatan pipa dan kabel bawah laut yang tertata dengan rapi, terstruktur, dan yang paling penting dapat dipetakan dengan baik, akan membantu pemantauan jalur, sehingga mengurangi resiko terjadinya penumpukan dan pelanggaran wilayah oleh pihak asing karena Indonesia sudah memiliki kebijakan, pemetaan, dan pengendalian pipa juga kabel bawah laut yang maksimal.