Pulau Sumatera: Salah Satu Acuan Delineasi Landas Kontinen Ekstensi

Oleh: Annaura Jasmine S R.

Persoalan mengenai penetapan batas laut sudah lama menjadi topik bahasan secara global. Aspek kedaulatan yang ada di dalamnya menjadi salah satu pendukung banyaknya bahasan mengenai penetapan batas laut karena dapat menjadi suatu prinsip dasar hadirnya keharmonisan dalam hubungan internasional. Hukum internasional banyak dan akan selalu melakukan upaya penetapan batas laut yang bisa berlaku secara universal. Seperti batas laut teritorial yang awalnya ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam praktek ketatanegaraan negara yang bersangkutan namun tetap memperhatikan kepentingan negara lain yang berperan sebagai pengguna maupun pelintas.

Banyak definisi yang terbentuk menurut konsepsi hukum laut internasional perihal kepemilikan dan penggunaan wilayah laut, salah satunya adalah Archipelagic state principles atau asas negara kepulauan yang menjadi dasar konvensi PBB tentang hukum laut. Banyak persoalan yang muncul dari pembahasan mengenai batasan area maritim khususnya area landas kontinen yang sebelumnya dijadikan salah satu pokok bahasan di Konferensi Hukum Laut 1958 di Jenewa. Dari konvensi tersebut lahirlah konvensi mengenai landas kontinen. Namun setelahnya, masih banyak permasalahan yang timbul akibat tidak adanya batasan yang jelas mengenai landas kontinen sehingga memicu ego dari banyak negara untuk menuntut landas kontinen yang seluas-luasnya tanpa mempertimbangkan negara di sekitarnya. Berangkat dari hal tersebut, munculah UNCLOS 1982 untuk merumuskan dengan jelas ketidakjelasan landas kontinen yang ada sebelumnya.

UNCLOS 1982 dan Indonesia

Poin relevan bagi Indonesia yang dapat diambil dari UNCLOS 1982 terdapat pada Pasal 76 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai berhak atas landas kontinen melebihi 200 mil atau tidak boleh lebih dari 350 mil laut, yang diukur dari garis pangkalnya. Hal tersebut didukung oleh adanya Natural prolongation atau Landas Kontinen Ekstensi (LKE). Akan tetapi untuk mencapai LKE sendiri, Indonesia harus melakukan delineasi batas terluar LKE dan mengajukannya ke Komisi Batas Landas Kontinen atau (Commission on the Limits of Continental Shelf). Hadirnya pasal ini pun memicu negara lain untuk turut mengklaim teritorial lautnya sesuai dengan yang tertera pada UNCLOS 1982.

Dalam menentukan LKE sendiri dibutuhkan pemahaman lebih mengenai garis pangkal, kaki lereng kontinen, pinggiran luar tepian kontinen, dan punggung atau penampakan dasar (ridges). Ketentuan tertulis berdasarkan hukum tak cukup untuk menentukan LKE bagi Indonesia yang sangat berpotensi, karena harus pula didukung oleh uji dengan metode yang telah diatur oleh CLCS. Tak hanya perspektif politik yang harus dipersiapkan, namun hingga segi teknis pun harus turut diperhatikan. Penentuan wilayah yang baik, dapat menunjang langkah perealisasian klaim batas terluar landas kontinen ini. Sebagai contoh, salah satu uji penelitian telah membuktikan bahwa wilayah barat daya Pulau Sumatera dapat dijadikan acuan untuk menarik batas terluar LKE.

Pulau Sumatera dan Investigator Ridge, Kunci Perluasan LKE

Salah satu area yang dapat dijadikan acuan untuk klaim penambahan LKE merupakan wilayah barat daya Pulau Sumatera. Hal tersebut karena kawasan maritim ini memiliki investigator ridge yang dapat dijadikan dasar penentuan batas wilayah. Selain itu potensi sumber daya alam yang tinggi menjadi pendukung penentuan area. Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, untuk menentukan landas kontinen ekstensi (LKE) diperlukan data dan informasi yang nantinya digunakan untuk membuat garis terluar. Berdasarkan pada UNCLOS 1982 Pasal 76 Ayat 2, data yang digunakan adalah data batimetri dan data sedimen. Data batimetri sendiri digunakan untuk menentukan foot of slope (FOS) atau dikenal juga lereng kontinen yang telah ditetapkan secara resmi oleh CLCS. Kedua data tersebut digunakan sebagai penentu keberadaan investigator ridge.

Investigator ridge adalah salah satu fitur dasar laut yaitu punggung laut (ridge) yang dimanfaatkan untuk menarik LKE di luar 200 mil laut yang umumnya ditarik dari garis pangkal (baseline) yang akan menghubungkan titik-titik dasar (basepoints). Metode ini telah diterapkan sebelumnya oleh Selandia Baru dan disetujui oleh CLCS. Investigator ridge dapat ditentukan dari kontur batimetri yang terbentuk dari penentuan titik pangkal dan garis pangkal lurus. Jika investigator ridge sudah ditentukan, maka foot of slope dapat diidentifikasi sebagai salah satu syarat sah atau tidaknya proses delineasi batas terluar landas kontinen di laur 200 mil laut melalui Test of Appurtenance. Uji tersebut mencakup tes radius 200 mil laut untuk memastikan apakah kawasan melebihi 200 mil laut atau tidak dan foot of slope test (FOS) atau titik perubahan maksimum dalam perubahan gradien dari bentukan fitur di dasar laut.

Syarat lain dari klaim atas LKE suatu negara adalah Hedberg Line yang dapat diperoleh dari kumpulan garis FOS dan dalam kasus ini Garis Hedberg akan ditarik dari titik FOS yang diperoleh dari kaki lereng investigator ridge ke arah barat dan ke arah timur sejauh 60 mil laut. Jika mempertimbangkan keuntungan yang didapat, pemilihan syarat pada kasus ini yaitu batas terluar sejauh 350 mil laut dan penggunaan garis Hedberg (FOS + 60 mil) menjadi cara yang tepat.

Penelitian yang dilakukan ini membuktikan bahwa hadirnya UNCLOS 1982 Pasal 76 serta dukungan dari adanya data batimetri dan data sedimen menyatakan bahwa Indonesia berhak untuk mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (LKE) sejauh 350 mil laut untuk area Barat Daya Pulau Sumatera. Hal tersebut dibuktikan pula dengan adanya investigator ridge sebagai acuan penarikan batas terluar LKE berdasarkan FOS + 60 mil dari kaki investigator ridge.

Keuntungan Pengajuan LKE

Penelitian tersebut hanya satu dari banyak uji penelitian lain yang dapat menjadi data konkrit untuk dijadikan sebagai acuan awal bagi Pemerintah Indonesia untuk mengajukan perluasan LKE di luar 200 mil laut. Selain itu, banyaknya uji penelitian di berbagai wilayah pun menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan berpotensi yang seharusnya dapat memanfaatkan adanya UNCLOS 1982 Pasal 76. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari pengajuan LKE yaitu sebagai deklarasi hak berdaulat dan juga potensi ekonomi jangka panjang. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya UNCLOS 1982, setiap negara pantai akan berlomba-lomba untuk menyatakan klaim landas kontinen melebihi 200 mil dan cenderung akan mencoba untuk memperluas area kekuasaan seluas mungkin sepanjang persyaratan legal dan teknis terpenuhi. Aspek lain yang bisa dijadikan pertimbangan adalah langkah perluasan ini dapat menjadi upaya untuk mengantisipasi adanya sengketa di kemudian hari tak lain karena area landas kontinen sendiri menyimpan potensi ekonomi yang besar.

Perluasan LKE harus menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Indonesia, mengetahui jika LKE diajukan suatu negara maka negara tersebut berpeluang untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada dan di dalam area landas kontinen untuk kepentingan negara dan rakyat. Sehingga, potensi ekonomi jangka panjang tersimpan dalam minyak dan gas bumi yang banyak terkandung di area landas kontinen Indonesia. Akan tetapi selain aspek teknis, secara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa segala UU yang berkaitan sudah sesuai dengan UNCLOS 1982. Tak lain agar Indonesia memilikki dasar hukum kuat untuk mengatur area landas kontinen yang ada. Sebelum melangkah lebih jauh, Indonesia juga perlu untuk menyelesaikan segala persoalan politis perihal perjanjian perbatasan antar negara yang berdampingan.

Jika setiap langkah dipastikan dapat mendukung Indonesia dalam melakukan perluasan LKE akan menjadi suatu investasi jangka panjang dengan potensi yang dapat dinikmati oleh banyak generasi ke depannya. Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan dukungan dari banyak pihak terutama yang memegang peran di ranah Pemerintahan Indonesia agar menjadikan hal ini sebagai sebuah kepentingan. Sangat disayangkan jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemegang kepentingan yang ada di Indonesia dengan segala potensi maritim yang dimiliki. Potensi-potensi tersebut harus dilindungi khususnya secara hukum agar tidak menjadi hak milik pihak lain.

#MCPRDailyNews

Leave a Reply