Oleh : Ramones Telaum Banua
Suku laut atau orang laut merupakan komunitas yang mendiami di wilayah perairan Kepulauan Riau. Mereka disebut suku laut karena mereka melakukan segala aktivitas di laut dan memfungsikan perahu beratapkan kajang sebagai rumah mereka. Suku laut mulai mendiami di wilayah Melayu-Lingga pada tahun 2500-1500 sebelum masehi. Banyak peneliti berargumen bahwa suku laut merupakan suku melayu asli, keturunan suku melayu tua (Proto Melayu) yang menyebar di Pulau Sumatra, melalui Semenanjung Malaka.
Banyak peneliti memiliki perspektif masing-masing mengenai sejarah suku laut. Salah satu pendapat datang dari Vivienne Wee (1993) yang menyampaikan bahwa orang laut dianggap sebagai keturunan raja-raja Melayu. Pendapat ini didasarkan pada kajian terhadap naskah Sulalatus Salatin, yang menyebutkan kisah Raja Chulan yang turun ke laut dan menikahi seorang putri laut. Jika putri laut diinterpretasikan sebagai simbol orang laut, maka Sri Tri Buana dan saudaranya merupakan keturunan dari perpaduan antara ayah dan ibu yang berasal dari orang laut.
Secara historis suku laut memiliki peran penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Johor. Dengan sifat loyalitas suku laut membantu kerajaan-kerajaan nusantara meraih kejayaannya. Seperti suku laut dalam Kerajaan Sriwijaya, menjadi bagian penting dalam armada perang yang membantu dalam menguasai jalur perdagangan dan lalu lintas di Asia Tenggara.
Dengan peran dan aksi suku laut di masa lalu menunjukan identitas yang kuat bagi Bangsa Indonesia sebagai negara maritim yang besar. Namun, pada era sekarang suku laut semakin disisihkan dan dianggap “tertinggal”. Stigma ini melekat karena kurangnya perhatian terhadap kearifan lokal dan potensi budaya yang mereka miliki. Hal ini merupakan dampak dari pemerintah yang terlalu fokus dalam pembangunan infrastruktur, dibanding pembangunan sumber daya manusia, yang lalu mencoba memaksakan perubahan gaya hidup suku laut menjadi di darat atas dasar modernisasi.
Diskriminasi Suku Laut
Suku Laut sering kali menghadapi diskriminasi melalui kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Instrumen-instrumen kebijakan tersebut, seperti program pemukiman, kerap memaksakan perubahan gaya hidup mereka agar menetap di darat, sehingga mengharuskan mereka meninggalkan tradisi dan budaya yang telah mereka jalani selama ratusan tahun. Program pemukiman yang diterapkan justru membuat suku laut jatuh ke dalam situasi kemiskinan, ketergantungan, kerentanan, dan semakin terpinggirkan.
Seperti akses pendidikan yang masih jauh dikatakan layak, banyak dari suku laut yang putus sekolah dikarenakan masalah biaya. Hal itu menyebabkan rentetan masalah baru seperti tingginya pernikahan dini yang terjadi di suku laut. Banyak anak perempuan berusia 12–17 tahun dari suku laut yang sudah menikah, padahal menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal untuk menikah seharusnya adalah 19 tahun.
Selain itu, suku laut juga menghadapi pemaksaan untuk menyesuaikan diri dengan standar uniformitas, yang mengancam keberadaan identitas dan kebanggaan mereka terhadap tradisi. Warisan budaya seperti perahu atau kajang, bahasa asli, agama nenek moyang, cara tradisional menangkap ikan menggunakan serubang (tombak), hingga kemampuan membaca arus dan cuaca berdasarkan pola bintang di langit mulai terkikis dan berisiko hilang sepenuhnya. Praktik-praktik seperti ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak budaya suku laut.
Ancaman terhadap ruang laut turut memperparah kehidupan suku laut yang semakin termarjinalkan. Pembangunan tambang dan praktik penangkapan ikan dengan alat yang tidak berkelanjutan tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga mengancam mata pencaharian tradisional mereka. Kerusakan lingkungan ini sering kali membuat mereka kehilangan akses terhadap sumber daya laut yang menjadi tumpuan hidup, seperti ikan, kerang, dan hasil laut lainnya. Sebagai contoh, limbah hasil tambang pasir kuarsa di Pulau Kojong, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, menyebabkan turunnya hasil perikanan di wilayah tersebut. Kondisi ini telah menimbulkan keluhan dari beberapa warga yang terdampak.
Hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh suku laut seringkali terabaikan, baik di darat, di mana mereka kurang mendapatkan perhatian, maupun di laut, yang terus menghadapi berbagai ancaman. Suku laut seolah berada dalam ambiguitas terkait hak mereka untuk hidup dan bertahan di wilayahnya, seperti anak tiri di tanah airnya sendiri, yang tidak sepenuhnya diakui atau dilindungi oleh kebijakan yang seharusnya memberikan ruang bagi kehidupan mereka.
Perlindungan Suku Laut
Pengoptimalan hak suku laut untuk melindungi tradisi yang ada merupakan kunci dalam menjaga identitas budaya dan keberlanjutan mereka sebagai masyarakat adat maritim. Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah memberikan penguatan melalui pembangunan yang berkelanjutan. Upaya ini mencakup penyediaan pendidikan yang inklusif dan relevan, melindungi serta mendukung identitas budaya dan etnis suku laut baik secara lisan maupun tulisan, sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional.
Selain itu, diperlukan penguatan regulasi yang mendukung hak masyarakat adat dalam sektor perikanan, khususnya terkait aktivitas penangkapan ikan, baik yang bersifat ilegal maupun legal, dengan menggunakan teknologi modern di wilayah perairan suku laut. Regulasi ini diharapkan dapat melindungi sumber daya alam sekaligus menjamin keberlanjutan kehidupan mereka.
Lebih lanjut, hak suku laut juga harus diintegrasikan dalam program pembangunan dan proses musyawarah, mulai dari tingkat lokal hingga kabupaten, melalui skema partisipasi FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk terlibat secara aktif dan memberikan persetujuan penuh terhadap setiap kebijakan atau program yang berdampak pada kehidupan mereka, sehingga memastikan bahwa hak mereka diakui dan dihormati.
Selain itu, integrasi suku laut ke dalam program-program pemerintah yang berkaitan dengan kawasan konservasi juga menjadi langkah strategis. Misalnya, melibatkan mereka dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat, di mana kearifan lokal mereka dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan laut. Pendekatan ini tidak hanya melindungi hak mereka atas wilayah tradisional tetapi juga memperkuat posisi mereka sebagai penjaga ekosistem laut.
#MCPRDailyNews