Oleh: Bintang Azahra
Banten, sebuah wilayah yang dikenal dengan kejayaan maritimnya pada masa lampau, kini mengalami degradasi kebudayaan maritim yang signifikan. Pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara, kebudayaan maritim berkembang pesat berkat sistem perniagaan antarpulau yang memanfaatkan kota-kota bandar besar di sepanjang pesisir pantai. Para pedagang dan pelaut memainkan peran penting dalam menghubungkan wilayah-wilayah tersebut, sehingga menciptakan jaringan perdagangan yang kuat dan dinamis. Namun, kedatangan kolonialisme Belanda membawa perubahan drastis, mengalihkan orientasi masyarakat dari laut ke darat. Kehidupan masyarakat pesisir Banten yang dulu bergantung pada laut, kini beralih menjadi masyarakat agraris. Perubahan ini tidak hanya mengubah cara hidup mereka tetapi juga mengikis nilai-nilai budaya maritim yang telah terjalin selama berabad-abad. Akibatnya, pengetahuan dan keterampilan melaut yang diwariskan dari generasi ke generasi mulai hilang.
Dimensi Kekinian dan Identitas dalam Praktik Sosial Melaut
Dalam konteks kekinian, degradasi kebudayaan maritim Banten terlihat dari penyempitan makna praktik melaut jika dibandingkan dengan masa lalu. Praktik melaut yang dulunya melibatkan berbagai aspek kehidupan kini terbatas pada aktivitas ekonomi semata. Banyak generasi muda yang tidak lagi mengenal nilai-nilai dan tradisi yang berkaitan dengan laut, sehingga budaya maritim perlahan-lahan memudar.
Dalam memahami degradasi kebudayaan maritim, penting untuk melihat hubungan timbal balik antara individu dan struktur sosial. Perspektif Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa kebudayaan adalah arena sosial yang mengalami proses redefinisi dan restrukturisasi terus-menerus. Masyarakat maritim bukan hanya nelayan yang tinggal di tepi pantai, tetapi mereka yang memiliki norma dan obligasi sosial berdasarkan hubungan panjang dengan lautan.
Teori ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis bagaimana kebudayaan maritim bisa terdegradasi dan bagaimana cara untuk memulihkannya. Proses sosial dan interaksi antara individu dan struktur sosial yang terus berubah memainkan peran penting dalam mempertahankan atau mengubah kebudayaan. Dalam konteks ini, revitalisasi kebudayaan maritim memerlukan pendekatan yang holistik, melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan utama dalam hal ini adalah mengapa kebudayaan maritim tidak muncul dalam masyarakat Indonesia meski memiliki garis pantai yang panjang. Pertanyaan ini membawa refleksi mendalam tentang bagaimana sejarah dan kebijakan telah membentuk orientasi budaya kita. Kebudayaan maritim yang seharusnya menjadi identitas kuat bagi bangsa ini ternyata terabaikan dan tergeser oleh budaya agraris.
Representasi degradasi ini dalam masyarakat saat masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab. Kebijakan pemerintah dan globalisasi juga turut mempengaruhi pola hidup masyarakat pesisir. Mengatasi masalah ini membutuhkan kesadaran kolektif dan strategi yang komprehensif untuk mengembalikan kebudayaan maritim sebagai identitas bangsa.
Atas dasar hal tersebut, kesadaran dan pengetahuan mengenai laut dan melaut masih perlu ditingkatkan untuk menghidupkan kembali kebudayaan maritim yang mulai tergerus. Kolonialisme memang telah mengubah orientasi budaya kita, tetapi dengan pemahaman yang baik tentang akar masalah dan konteks historisnya, ada harapan untuk membangun kembali kebudayaan maritim yang kuat dan berkelanjutan.
#MCPRDailyNews