Oleh : Ramones Telaum Banua
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kemiskinan. Pada data tahun 2019 menunjukan 90% dari 16,2 juta nelayan belum mendapatkan kehidupan yang layak dan masih dibawah garis kemiskinan. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan mengingat kita merupakan negara maritim besar dunia dengan hasil laut yang sangat melimpah.
Peran pemerintah sangatlah sentral untuk membuat kebijakan-kebijakan yang condong ke arah nelayan kecil dan tradisional. Salah satu kebijakan yang sudah ada yaitu pemberian subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar. Kebijakan tersebut dimaksudkan demi menunjang produktivitas nelayan kecil untuk meningkatkan pendapatannya. Namun, pengimplementasian di lapangan masih jauh dari kata memuaskan, menurut data KTNI tahun 2021 menunjukan 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM bersubsidi. Hal tersebut terjadi karena susahnya birokrasi untuk mendapatkan surat rekomendasi BBM bersubsidi serta infrastruktur yang kurang memadai sehingga pemerataannya kurang dirasakan nelayan kecil. Dampak dari kondisi tersebut nelayan kecil harus membeli solar dengan harga yang jauh lebih mahal.
Problematika Kebijakan Subsidi BBM
Pada Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, dijelaskan tentang syarat-syarat yang rumit bagi nelayan kecil untuk mendapatkan subsidi BBM jenis solar. Persyaratan tersebut melibatkan berbagai dokumen seperti Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP) atau Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP), Pas Kecil, Nomor Induk Berusaha (NIB), dan Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Ketidakmampuan nelayan kecil memenuhi semua persyaratan ini menyebabkan banyak di antara mereka tidak dapat mengakses subsidi BBM yang seharusnya mereka terima.
Selain proses administratif yang sulit, infrastruktur juga menjadi masalah utama dalam proses pendistribusian BBM. Saat ini di Indonesia hanya ada 404 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum nelayan dari total 11.984 desa pesisir. Peliknya proses penambahan infrastruktur menjadi kendala pemerataan, karena pembuatan SPBU nelayan membutuhkan izin yang cukup rumit dengan waktu 3 – 6 bulan dan memakan biaya yang tinggi. Selain itu, SPBU yang ditujukan khusus untuk nelayan umumnya hanya tersebar di pelabuhan besar, menyebabkan sulitnya akses bagi nelayan yang tinggal di desa-desa pesisir yang terpencil. Perlu adanya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan akses nelayan kecil terhadap SPBU Nelayan dengan memperbaiki regulasi dan mempercepat proses perizinan demi memberikan pelayanan yang optimal kepada nelayan kecil.
Oknum nelayan kaya juga menjadi momok permasalahan bagi nelayan kecil, karena oknum ini merampas subsidi BBM yang ditujukan khusus kepada nelayan kecil dengan memanipulasi peraturan yang ada. Biasanya oknum ini bekerjasama dengan aparat untuk memanipulasi ukuran kapal agar lolos mendapat subsidi BBM. Padahal dalam Peraturan BPH Migas Nomor 2 Tahun 2023 Pada Pasal 3 Ayat 3 dijelaskan kapal yang berhak mendapat subsidi BBM adalah kapal dengan ukuran dibawah 30 gross ton (GT) dan terdaftar di KKP. Tindakan ini sangat merugikan nelayan kecil yang seharusnya menjadi prioritas penerima subsidi BBM, karena dana yang seharusnya mereka terima justru direbut oleh oknum nelayan kaya yang tidak memenuhi syarat. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam distribusi subsidi dan merugikan pertumbuhan ekonomi nelayan kecil yang sebenarnya membutuhkan dukungan penuh dari program subsidi tersebut.
Perbaikan Sistem Kebijakan Subsidi BBM
Langkah-langkah konkret telah diusulkan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan kecil. Pertama, dengan merevisi Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 untuk menyederhanakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan subsidi BBM, terutama dengan menggunakan Kartu KUSUKA sebagai alat pembayaran. Integrasi data nelayan dan kapal dalam satu basis data melalui Kartu KUSUKA juga diusulkan untuk meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan program kebijakan sehingga penyaluran subsidi dapat dilakukan dengan lebih tepat dan efektif.
Selanjutnya, pemerataan pembangunan SPBU nelayan di daerah pesisir yang terpencil menjadi prioritas. Dengan membangun SPBU nelayan di lokasi-lokasi tersebut, akan memudahkan nelayan untuk mengakses BBM subsidi serta mendukung program kebijakan yang ditargetkan khusus untuk daerah-daerah tersebut. Infrastruktur yang dibangun secara terencana dan berkala setiap tahunnya diharapkan dapat membantu dalam mencapai tujuan pembangunan SPBU nelayan yang merata.
Terakhir, penguatan program yang sudah ada, seperti program SOLUSI (Solar Untuk Koperasi), menjadi langkah penting dalam meningkatkan produktivitas nelayan secara kolektif. Dengan program SOLUSI, koperasi berperan dalam mengurus pembelian BBM dan hasil tangkapan nelayan secara bersama-sama. Pentingnya pengawasan yang ketat di lapangan juga ditekankan untuk memastikan setiap pembelian BBM tepat sasaran, sehingga subsidi yang disediakan benar-benar dapat bermanfaat bagi nelayan kecil yang membutuhkannya.
#MCPRDailyNews