Diplomasi dan Peradilan Internasional: Jalur Tengah Penyelesaian Sengketa Maritim

Oleh: Yesi Deskayanti

Maritim merupakan hal yang berkaitan dengan wilayah laut dan perairan. Maritim sifatnya luas, mencakup zona, kehidupan, pertahanan dan keamanan, budaya, sumber daya, infrastruktur dan konektivitas, diplomasi serta hal lainnya yang berhubungan bahkan bergantung dengan maritim. Cakupan yang banyak tersebut memungkinkan permasalahan-permasalahan akan muncul di lingkungan maritim. Masalah yang sering muncul di lingkungan maritim biasanya bersifat internasional sehingga beberapa negara dapat terlibat di dalamnya. Suatu permasalahan muncul disebabkan karena satu negara dengan individu, satu negara dengan negara lain, ataupun satu negara dengan lembaga mengundang konflik yang dapat merugikan salah satu dari kedua pihak. 

Karena wilayah maritim juga berkaitan dengan wilayah negara maka besar kemungkinan konflik maritim internasional dapat terjadi. Terdapat beberapa sebab konflik atau sengketa internasional dapat terjadi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

  • Terdapat pihak yang tidak memenuhi kewajiban mereka dalam suatu perjanjian internasional yang telah dibentuk sebelumnya;
  • Terdapat perbedaan pemahaman terhadap isi yang ada di suatu perjanjian internasional;
  • Adanya kasus penghinaan yang kaitannya dengan harga diri suatu bangsa;
  • Perebutan sumberdaya ekonomi;
  • Adanya intervensi;
  • Pengaruh politik, keamanan, ekonomi regional maupun internasional yang besar sehingga memunculkan perebutan kekuasaan.

Masalah Internasional Lingkungan Maritim

Hal yang sering terjadi sehingga memunculkan masalah internasional dalam dunia maritim adalah masalah yang berkaitan dengan batas negara. Penyelesaian tersebut biasanya akan ditengahi melalui jalur diplomasi maupun pemanfaatan lembaga peradilan internasional

Sebagai contoh, terdapat beberapa kasus maritim yang berkaitan dengan batas negara, yaitu kasus Behring Sea Fur Seal (1893), kasus British Guiana-Venezuela Boundary (1897), kasus The Trial Smelter (1941), kasus The Corfu Chanel (1948), kasus The Sunrise Arctic (2013), serta kasus Laut China Selatan (2016).

Penyelesaian Masalah Maritim Melalui Studi Teoritis

Dalam kajian teoritis tentang penyelesaian sengketa maritim, fokus diberikan pada peran penting hukum internasional sebagai dasar untuk menentukan sengketa internasional. Sumber hukum seperti perjanjian internasional, hukum kebiasaan, dan prinsip-prinsip hukum umum menjadi landasan utama bagi International Court of Justice (ICJ) atau istilah lain dari Mahkamah Internasional dalam memutuskan sengketa. Namun, tidak semua entitas internasional dapat bersengketa di peradilan tertentu, dan subjek hukum internasional, seperti negara, individu, dan organisasi internasional, memainkan peran kunci.

Penyelesaian sengketa diuraikan dalam dua kategori utama: damai, di mana pihak-pihak bermufakat untuk menyelesaikan sengketa secara bersahabat, dan paksa, di mana penyelesaian ditempuh secara paksa atau dengan kekerasan. Dalam konteks lingkungan hidup maritim, penyelesaian cenderung damai, meskipun kasus paksa dengan kekerasan terkait sumber daya alam dapat terjadi.

Penelitian juga menyoroti pentingnya sumber hukum internasional dan subjek hukum internasional dalam pemahaman penyelesaian sengketa. Diplomasi, arbitrase, dan pembentukan perjanjian internasional menjadi jalur utama untuk mencapai kesepakatan, seperti yang dicontohkan dalam surat menyurat diplomatik antara pemerintah Inggris dan Amerika Serikat.

Sebagai contoh konkret, sengketa terkait uji coba senjata nuklir oleh Perancis di Pasifik pada tahun 1974 menyebabkan tuntutan oleh Australia dan Selandia Baru, menyoroti peran penting perubahan lingkungan hidup dalam konflik internasional.

Pentingnya penyelesaian sengketa tercermin dalam sejumlah model yang dikenal dalam hukum internasional, termasuk arbitrasi, penyelesaian yudisial, perundingan, perantaraan, pendamaian, atau penyelidikan. Model-model ini mencerminkan kompleksitas penanganan konflik di tingkat internasional.

Penyelesaian Masalah Maritim Melalui Jalur di Luar Peradilan

Penyelesaian konflik di luar ranah peradilan dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). Salah satu variasi dari ADR adalah negosiasi, yang juga erat kaitannya dengan diplomasi dalam menjalankan relasi internasional melalui perundingan. Penggunaan diplomasi memegang peran sentral dalam menyelesaikan konflik di luar ruang pengadilan, dimana pendekatan ini melibatkan tahap-tahap seperti melakukan diplomasi sebelum kasus dibawa ke pengadilan internasional, seperti Mahkamah Internasional (ICJ) atau Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS).

Dalam konteks ini, kedudukan dan peran diplomasi mempengaruhi keterlibatan suatu negara dalam sengketa yang mungkin terjadi pada berbagai tahapan, mulai dari sengketa yang sedang berjalan hingga pasca sengketa. Metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan melibatkan berbagai pendekatan, seperti arbitrasi, negosiasi, mediasi, dan partisipasi badan-badan internasional.

Badan-badan internasional, seperti PBB dan Masyarakat Eropa, juga berperan aktif dalam penyelesaian sengketa terkait masalah lingkungan hidup maritim. Meskipun jalur-jalur ini dapat menjadi sarana efektif untuk menyelesaikan sengketa, namun akan ada kemungkinan gagalnya melalui jalur diplomatik, yang pada akhirnya dapat mengarah pada penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional.

Penyelesaian Masalah Maritim Melalui Jalur Peradilan

Mekanisme peradilan internasional yang terus berkembang saat ini menjadi panggung penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Mahkamah Internasional (ICJ), International Tribunal Law of the Sea (ITLOS), dan Mahkamah Arbitrase Internasional adalah beberapa badan peradilan utama yang menangani sengketa internasional. Keputusan-keputusan dimulai dari sengketa perbatasan hingga dampak lingkungan, memiliki konsekuensi hukum yang beragam. Penerapan keputusan-keputusan ini mencakup aspek-aspek diplomasi, hak asasi manusia, dan konservasi sumber daya alam. Keputusan-keputusan dari ICJ, seperti dalam kasus Sovereignty over Pedra Branca dan Whaling in the Antarctic, mencerminkan peran sentral diplomasi dalam penyelesaian sengketa internasional. Sementara itu, ITLOS telah menghadapi kasus-kasus penting, termasuk Land Reclamation by Singapore dan The “Arctic Sunrise” Case, yang melibatkan organisasi non-pemerintah (NGO) seperti Greenpeace.

Selain itu, badan peradilan internasional lainnya seperti Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Arbitrase Internasional turut serta dalam menyelesaikan sengketa yang melibatkan kejahatan perang dan penyalahgunaan lingkungan. Putusan-putusan ini, seperti dalam situasi Darfur dan Iron Rhine Railway Case, menciptakan landasan hukum untuk pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang merugikan lingkungan.

Pentingnya peradilan nasional juga terlihat melalui badan-badan seperti National Environmental Tribunal di Pakistan dan Environmental National Dispute Resolution Commission di Korea, yang berfokus pada perkara lingkungan hidup. Putusan pusat seperti ini, sebagai contoh dalam kasus Patmos mengenai pencemaran minyak, memiliki dampak dalam mengembangkan hukum lingkungan internasional. Sengketa-sengketa ini membuktikan kompleksitas hubungan antara hukum, diplomasi, dan lingkungan hidup, memperkuat urgensi penanganan yang hati-hati terhadap isu-isu global yang semakin berkembang. Dengan keterlibatan berbagai badan peradilan, baik di tingkat internasional maupun nasional, dunia semakin memperkuat kerangka hukum untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Diplomasi dan keputusan peradilan internasional dapat membentuk dasar hukum yang signifikan bagi negara-negara dan pihak-pihak non-negara dalam kancah hubungan internasional. Artikel ini menunjukkan bahwa sengketa lingkungan hidup maritim seringkali melibatkan kepentingan nasional yang kompleks, yang dapat menimbulkan ketegangan bahkan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui diplomasi dan peradilan internasional tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan, tetapi juga sebagai langkah krusial dalam meredakan ketegangan hubungan bilateral, regional, dan multilateral.

#MCPRDailyNews

Leave a Reply