Kaombo: Tradisi daerah terlarang di Wakatobi

Oleh : Bintang Azahra

Hukum adat merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang berkembang di suatu lingkungan atau suku tertentu. Sebagai negara dengan wilayah yang luas dan sebagai tempat berkumpulnya ribuan suku yang berbeda, Indonesia memiliki banyak hukum adat yang berlaku di setiap bagian wilayahnya. Hukum adat merupakan acuan yang telah dipercaya secara turun temurun bahkan sebelum hukum formal diberlakukan di Indonesia.

Hukum adat sebagai bagian dari kearifan lokal merupakan panduan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya. Terciptanya hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan sekitarnya merupakan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Perlindungan dan penggunaan  teknologi serta metode yang ramah lingkungan merupakan poin utama dalam mewujudkan hal tersebut. Hukum adat akan terus diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya, baik dalam bentuk lisan atau sistem sosial. Salah satu contoh daerah yang memiliki dan menerapkan hukum adatnya dalam menjaga sumberdaya alamnya adalah Wakatobi.

Wakatobi merupakan wilayah dengan potensi sumberdaya alam, baik darat maupun laut yang berlimpah. Pengelolaan sumber daya alam di Wakatobi diatur oleh Masyarakat Hukum Adat Sarano Wali melalui Kaombo yang memiliki arti larangan. Hukum ini memiliki makna sebagai larangan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

Sarano Wali dan Kaombo

Tradisi Kaombo beriringan dengan Sarano Wali sebagai sarana dalam mengatur daerah eksploitasi sumber daya alam baik di darat maupun laut dengan sanksi yang telah ditetapkan. Setidaknya terdapat tiga tata kelola adat kaombo, yaitu kaombo pribadi, kaombo hutan lindung, dan kaombo pesisir. Seseorang dilarang mengambil sumber daya di wilayah adat untuk kepentingan pribadi. Kaombo memiliki tapal batas kewilayahan yang jelas dengan batas wilayah kaombo yang digunakan adalah batas wilayah administrasi desa dan batas relung ekologi. 

Kelurahan Wali yang terletak di Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang melimpah. Masyarakat di kawasan ini sangat tergantung dengan wilayah pesisir yang dijadikan sebagai tempat memenuhi kebutuhan mereka. Tradisi larangan atau tabu di kelurahan Wali merupakan tradisi yang unik dan menarik untuk dipelajari karena ditengah perbedaan rentang usia dan pendidikan masyarakatnya yang beragam tradisi larangan atau tabu masih berkembang dan bertahan hingga sekarang. 

Dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan, Kelurahan Wali membentuk lembaga adat Sarano Wali. Dalam menjalankan kelembagaannya Sarano Wali membentuk pranata kelembagaan salah satunya adalah Kaombo laut. Alasan dibentuknya kaombo laut ini karena sudah rusaknya ekosistem terumbu karang dan untuk menjaga agar lokasi kaombo tersebut menjadi bank ikan. Salah satu penerapan Kombo dapat digambarkan melalui pelarangan melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya yang baik bersifat hayati maupun non hayati seperti mengambil berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya, mengambil terumbu karang, menambang pasir dan menebang pohon di sepanjang area wilayah larangan (kaombo).

Terdapat tiga sanksi terhadap pelanggar aturan kaombo, yaitu sanksi ringan berupa teguran, sanksi sedang berupa peringatan keras dan sanksi berat berupa hukuman sosial atau denda. Mekanisme pemberian sanksi didahului dengan ritual adat, dan berkumpul di baruga (balai adat) dan disidang secara adat.Hal ini dilakukan untuk memberikan informasi kepada seluruh masyarakat Wali bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap aturan kaombo laut. Pemberian sanksi dipimpin oleh sara hokumu yang terdiri dari sara kasisi (imam) dan sara adati (lakina) dari sara kasisi (imam) dan sara adati (lakina). Dalam pemberian sanksi pelanggaran terhadap kaombo laut, dikenal sistem denda yang disebut bhoka. 

Pengelolaan Wilayah Kaombo

Penerapan sistem kaombo yang dipimpin oleh Sarano Wali mendapatkan dukungan lahir yang datang dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat, pemerintah, pihak keamanan, dan akademisi menunjukan bahwa lembaga adat Sarano Wali tidak hanya sebatas upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal tetapi juga telah memberi dampak positif terhadap keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya perikanan. 

Dalam upaya untuk menjaga keberlanjutan tradisi komba, Lembaga Adat Sarano Wali telah berupaya mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan berbasis masyarakat adat tersebut, WWF-Indonesia mendorong MHA Sarano Wali untuk mendapatkan pengakuan Peraturan Bupati Wakatobi. 

Tradisi Kaombo dan keberadaan lembaga adat seperti Sarano Wali merupakan bukti keragaman dan kekayaan kebudayaan serta sumber daya alam Indonesia yang saling berkaitan satu sama lainnya. Aksi perlindungan agar tradisi ini tetap ada dan lestari merupakan hal yang sangat perlu dilakukan. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memberikan perhatian khusus bagi wilayah yang memiliki hukum adatnya sendiri dan melibatkan lembaga-lembaga adat tersebut dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan sumber daya manusia dan sumber daya alam di suatu daerah.

#MCPRDailyNews

Leave a Reply