“Lemme Na Maikkonna Sejarah To Perukembanganna Budaya Kami” : Menilik Identitas Suku Mandar Sebagai Suku Bahari

Oleh : Muhammad Rezza Syabana

Budaya maritim merupakan warisan tak ternilai yang mencakup tradisi, keahlian menangkap dan berlayar, serta kearifan lokal yang menjadi ciri khas masyarakat pesisir. Melalui hubungan mendalam antara manusia dengan lautan yang telah terbentuk pola kehidupan bermasyarakat sejak zaman dahulu, oleh karena itu budaya sebagai warisan serta sejarah yang patut terus dipertahankan dan tak luput akan perkembangan zaman. 

Orang mandar atau suku mandar merupakan bukti dari budaya maritim yang ada, mereka merupakan suku bahari ulung yang sudah lama eksisnya, suku yang berada di dataran pulau sulawesi ini menjadi suku etnis terbanyak kedua setelah suku bugis, Bukti sejarah pun mencatat bahwasanya suku ini merupakan pelaut handal yang sudah mengarungi lautan sejak 1937. Suku mandar lahir atau tercipta pada abad XVI pada persekutuan Pitu ba’bana binanga , pitu ulunna salu. Yaitu persekutuan antara 7 kerajaan pesisir dan 7 kerajaan pegunungan. 

Kebiasaan serta pola hidup mereka berkembang dengan kebudayaan bahari yang ada. Bahasa, dialek, keahlian hingga kepercayaan tidak luput dari pengaruh lautan. Kehebatan dan kecemerlangan mereka dalam persoalan bahari sudah tidak bisa diragukan, lintas generasi sudah dilalui komitmen dan keteguhan mereka atas nilai budaya yang dijunjung tinggi membuat kebudayaan itu tidak hilang, tetapi tumbuh dan berkembang menjadi darah dan identitas daerah. 

Suku Bangsa Maritim

Kebudayaan sangat berpengaruh besar terhadap tingkah laku manusia sesuai dengan hakikat serta definisi dari kebudayaan menurut ki Hajar Dewantara yang menegaskan bahwa hal-hal yang berasal dari masyarakat yang berkaitan dengan alam dan juga kodrat masyarakat itu sendiri, dengan kata lain kita bisa mengetahui bahwasanya kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat yang menyesuaikan dengan alam.

Nilai-nilai budaya menjadi pedoman hidup manusia dalam bermasyarakat, namun nilai-nilai budaya sebagai  suatu konsep mempunyai cakupan yang luas dan biasanya sulit dijelaskan secara rasional dan konkrit, maka nilai-nilai budaya suatu kebudayaan terletak pada ranah emosional  jiwa individu-individu yang menjadi warga budaya tersebut. Selain itu, masyarakat sudah dibekali dengan nilai-nilai budaya  hidup bermasyarakat sejak kecil, sehingga konsep-konsep tersebut sudah lama terpatri dalam  jiwa mereka, Oleh karena itu, nilai-nilai budaya  suatu budaya tidak dapat tergantikan oleh nilai-nilai budaya  lain dalam waktu  singkat.

Melalui perkembangan budaya tersebut suku mandar sendiri yang mayoritas bekerja pada sektor bahari yang disebabkan oleh letak geografis dan nilai budaya yang sudah tertanam sejak dahulu, melalui mata pencahariannya perkembang sektor ini mengalami adaptasi melalui perkembangan kebudayaan seperti adanya perahu tanpa mesin yang menjadi salah satu tercepat pada masanya yaitu Perahu Sandeq, serta ada pula Rumpon yang merupakan alat penangkap ikan sebagai alat untuk bertahan hidup karena hakikatnya manusia memerlukan konsumsi untuk dapat mempertahankan hidupnya.

Perahu Sandeq : Melaju dengan bantuan alam

Sebagai suku bangsa maritim, perahu memegang peran penting dalam melakukan aktivitas yang menjadikan laut sebagai penghubung. Perahu sandeq menjadi ikon dari suku mande bahkan perahu ini juga menjadi wajah bagi budaya Sulawesi Barat, melalui layar segitiga dengan tiga pilar yang mencolok dan disusun dengan design yang amat ciamik bukan hanya persoalan estetika tetapi terdapat filosofi makna mendalam bagi masyarakat mande, banyaknya unsur segitiga yang melambangkan tiga unsur penting : laut, daratan dan langit yang berperan besar dalam kehidupan bermasyarakat. 

Bukan soal bentuk dan estetika dari perahu ini saja yang membuatnya menjadi ikonik, tetapi bagi masyarakat suku mande ini merupakan warisan budaya yang pada proses pembuatanya pun terdapat makna serta ritual kepercayaan bagi masyarakatnya, seperti proses awal dengan membacakan doa untuk keselamatan dalam proses pembuatan, dilanjutkan dengan Matobo pemasangan papan pertama yang dilakukan pemilik melalui doa dan ritualnya, hingga pada proses akhirnya setelah jadi masih ada tahapan seperti Mapposiq sebagai bentuk pengisian jiwa terhadap kapal dengan melubangi kecil bagian bawah tengah kapal, Kuliwa sebagai bentuk rasa syukur atas terciptanya Sandeq, Makkotaq Sanggilang pembuatan lobang stir kapal hingga peluncuran perahu sebagai bentuk bertemunya lautan dan perahu untuk pertama kalinya. 

Semua proses itu bukan persoalan pembuatan perahu sebagai alat transportasi saja, tetapi mereka sudah memahami dan memaknai perahu sebagai bentuk kebudayaan yang tidak akan lepas dengan perkembangan zaman dan sebagai rasa cinta akan kebudayaannya melalui proses pelestarian terhadap budaya yang ada dan tidak serta merta melupakan apa yang menjadi ruh sejati mereka 

Proses dari pelestarian yang mereka lakukan tidak lepas dari eksistensi kebudayaan itu sendiri di masyarakatnya mungkin memang tidak tergaung secara umum di masyarakat luas, tetapi melalui penanaman yang dipimpin oleh Arung sebagai pemangku adat dari Tajukang sebagai lembaga adat mereka. Mereka masih menerapkan kebudayaan yang menjadi warisan serta cikal bakal mereka, penerapan perahu sandeq, Balla Lompoa sebagai rumah adat mereka serta budaya bahasa dan ritual yang masih dipegang teguh menjadi identitas dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional diera modernisasi. 

Sudah seharusnya sebagai bangsa dan negara kita mempertahankan apa yang menjadi cikal bakalnya kita, suku mandar membuat sadar bahwasanya yang dapat menjaga dan melestarikan budaya ialah masyarakat asalnya itu sendiri. Jangan pernah terindah oleh zaman, jangan melupakan sejarah yang menjadi warisan sebagai identitas diri dalam bermasyarakat. 

#MCPRDailyNews

Leave a Reply