Oleh: Raffy Revanza Alfarez
Dunia tengah dihadapi oleh isu perubahan iklim global yang menyebabkan ketidakseimbangan di dalamnya. Perubahan iklim ini merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang menghasilkan gas emisi rumah kaca berupa karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan lain-lain secara berlebihan. Akibatnya, gas-gas ini menyebabkan efek rumah kaca sehingga terjadi peningkatan suhu di atmosfer.
Bagi kalangan awam, peningkatan suhu atmosfer belum menjadi sebuah pembahasan yang penting dan harus diperhatikan. Akan tetapi, bagi para ilmuan, khususnya yang bergerak aktif dalam bidang ekosistem lingkungan, peningkatan suhu atmosfer merupakan sesuatu yang mengancam dan sangat nyata dampak negatifnya. Berbagai kerusakan lingkungan tengah terjadi tanpa orang-orang sadari.
Bila berbicara soal ekosistem, laut merupakan salah satu ekosistem yang paling berdampak pada perubahan suhu atmosfer tersebut. Laut di seluruh dunia sekarang dalam kondisi terancam kenaikan suhu bumi secara signifikan. Padahal, laut merupakan hunian dan habitat bagi ekosistem laut lainnya, seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, laut dalam, dan sebagainya.
Salinitas Sebagai Kunci Kehidupan di Laut
Salinitas merupakan salah satu bahkan faktor utama penunjang kehidupan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Salinitas air yang baik mampu mendukung keberlangsungan hidup ekosistem yang berada di laut. Akan sangat berbahaya apabila nilai variabilitas salinitas berubah terlalu ekstrim akibat perubahan iklim. Kondisi salinitas laut dunia sedang tidak aman dan bahkan dapat dikatakan terancam karena perubahan iklim. Mengapa demikian?
Salinitas laut terbuka sangat dipengaruhi oleh siklus air baik secara vertikal maupun horizontal. Laut sangat merespon kehadiran panas karena laut juga merupakan penyerap panas alami bumi. Ketika laut sudah melebihi kapasitasnya untuk menyerap panas, maka hal buruklah yang akan terjadi. Keseimbangan di dalamnya akan terganggu sehingga mengancam ekosistem hidup.
Aliran arus termohalin yang bergerak dari kutub utara ke seluruh dunia akan terganggu akibat panas yang menyebabkan aliran tersebut bisa saja terhenti. Hal tersebut bisa terjadi karena pencairan gletser yang ada di kutub utara. Jutaan ton es yang cair menyebabkan perubahan suhu air laut yang cukup signifikan. Akibatnya, aliran air yang terjadi akibat adanya perbedaan densitas menjadi tidak ada. Padahal, pergerakan arus tersebut membawa nutrien-nutrien ke seluruh laut di dunia sebagai penyeimbang nilai salinitas. Apabila aliran ini terganggu atau tergenti tentunya perubahan kondisi salinitas yang ekstrim tidak terhindarkan.
Selain faktor tersebut, cuaca juga menjadi salah satu penentu kondisi salinitas di pesisir. Masukkan air tawar dari muara sungai memberikan variasi dalam nilai salinitas. Perubahan iklim menyebabkan kondisi cuaca tidak stabil di dunia. Kondisi akan sangat berbahaya apabila terjadi hujan lebat dan limpahan air tawar dari daratan sangat masif sehingga masukkan air tawar ke dalam laut juga akan sangat banyak.
Dampak Perubahan Nilai Salinitas terhadap Berbagai Bidang
Setelah mengetahui peranan salinitas sebagai kunci kehidupan di laut mungkin kita dapat memprediksi bidang apa saja yang akan terdampak apabila faktor salinitas kini dalam ancaman global. Dari segi kesehatan lingkungan tentunya hal tersebut sudah dapat kita pahami betul bahwa salinitas merupakan salah satu variabel kualitas air yang menentukan kondisi kesehatan ekosistem perairan. Layaknya ekosistem terumbu karang yang sensitif terhadap perubahan variabel kualitas air, dengan perubahan nilai baku salinitas kerusakan terumbu karang tidak terhindarkan.
Dampak lanjutan ketika lingkungan atau ekosistem laut sudah rusak adalah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang berantakan. Contoh kecilnya saja, berapa banyak nelayan tradisional Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hayati nasional. Kehancuran habitat biota menjadi sebuah problematika baru sebagai dampak perubahan iklim dunia yang semakin carut marut. Selain itu, berbagai bencana akan silih datang satu per satu, seperti kekeringan, banjir, cuaca ekstrem, dan sebagainya sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah rawan akan lebih merasakan risiko konflik sosial yang lebih tinggi.