Peran Pemerintah Melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dalam Menangani Tindak Pidana Kejahatan Perdagangan Satwa Dilindungi Menurut UU Nomor 5/1990

Oleh: Alfianu Adhi Riztiawan

Kejahatan perdagangan satwa diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Pada Pasal 21 Ayat 2 poin a menjelaskan bahwa “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”. Sementara itu, Pasal 40 Ayat 2 menyebutkan “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat 1 dan Ayat 2 serta Pasal 33 Ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Permasalahan perdagangan satwa tersebut merupakan hal yang serius, serta berdampak untuk seluruh negara yang ada di dunia. Dari sekian banyak pemicu maraknya perdagangan liar di Indonesia yakni lemahnya penegakan hukum dan perlindungan bagi satwa-satwa tersebut. Sementara itu, penegakan hukum merupakan hal esensial untuk mengurangi, bahkan menghentikan perdagangan satwa-satwa dilindungi kepada pelaku kejahatan.

Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar didalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Faktor Penyebab Meningkatnya Perdagangan Ilegal Satwa yang Dilindungi

Sebagai salah satu negara kepulauan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam kekayaan alam yang sangat beragam, salah satunya kekayaan satwa-satwa bawah laut. Selain itu, Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki banyak spesies satwa liar yang terancam punah karena sering terjadi perdagangan ilegal oleh pihak atau lembaga yang tidak bertanggung jawab, salah satu contohnya adalah ikan hiu dan ikan pari.

Perdagangan ilegal satwa dapat terjadi karena tidak ada izin resmi dari pemerintah dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Di era saat ini, individu maupun lembaga cenderung memilih jalan yang mudah tetapi melanggar hukum untuk mencari keuntungan. Ada beberapa faktor yang menjadikan perdagangan satwa ilegal semakin marak terjadi di wilayah negara Indonesia, diantaranya:

Pertama, lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan satwa dan optimalisasi koordinasi antara aparat penegak dan instansi terkait dalam penanganan kasus tersebut. Sementara itu, Indonesia telah memiliki regulasi terkait perlindungan keanekaragaman hayati, yakni UU No. 5/1990. Di sisi lain juga Indonesia juga aktif dalam kerjasama Internasional seperti CITES, ASEAN-WEN, ICCWC, dan lain sebagainya. Hanya saja, regulasi dan kerjasama yang telah diterapkan tersebut belum menunjukan hasil yang positif dan maksimal dalam konteks penanggulangan kejahatan atas satwa yang dilindungi.

Kedua, tingginya harga jual satwa yang dilindungi menjadi faktor lain mengapa perdagangan satwa marak terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak oknum dengan penghasilan rendah merasa kesulitan untuk bertahan hidup, sehingga akhirnya melakukan upaya jahat dengan menjual satwa-satwa yang dilindungi dengan harga selangit. Misalnya saja perburuan ikan pari manta yang jika dijual organ insangnya ditaksir bisa mencapai 680 US$ per kilogram.

Peran Pemerintah Melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (Dirjen KSDAE) yang bertanggung jawab langsung kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Dirjen KSDAE memiliki tugas dalam menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan KSDAHE. BBKSDA sebagai UPT mempunyai tugas pokok, yaitu: Pertama, menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; Kedua, pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru, serta; Ketiga, koordinasi teknis pengelolaan tanah hutan raya dan hutan lindung, serta 

Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi Provinsi berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. 

Selain ketiga hal yang sudah disebutkan, BBKSDA juga bertanggung jawab mengawasi dan memantau peredaran tumbuhan dan satwa yang dilindungi di wilayahnya. Termasuk memantau upaya-upaya penangkaran dan pemeliharaan tumbuhan dan satwa yang dilindungi oleh perorangan, perusahaan, dan lembaga konservasi terkait.

Melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), pemerintah berupaya untuk memerangi perdagangan gelap terkait satwa liar, dengan acuan peraturan perundang-undangan No. 5/1990. Dalam upaya penanggulangan kejahatan terhadap satwa yang dilindungi, pemerintah melalui KLHK membentuk BBKSDA disetiap wilayah yang ada di Indonesia. BBKSDA bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, dan bertugas sebagai pelaksana penyidikan di bidang konservasi sumber daya alam hayati.

BBKSDA memainkan peran-peran penting dalam upaya untuk mengurangi jumlah kejahatan terhadap satwa. Perdagangan ilegal satwa liar di Indonesia memiliki kompleksitas yang tinggi dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemburu, pengepul, pembeli, hingga eksportir. Tidak jarang terdapat kasus perdagangan ilegal satwa liar yang melibatkan oknum petugas yang terkait dengan upaya penyelamatan lingkungan dan aparat keamanan. Perdagangan satwa liar merupakan kejahatan yang terorganisir dengan baik, memiliki jaringan yang luas dan kuat, serta terus mengembangkan modus operandi penyelundupan barang dari waktu ke waktu.

Dari hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya, pemaksimalan regulasi, kolaborasi antar lembaga terkait dan lapisan masyarakat menjadi penting dilakukan. Dasar hukum untuk menindak pelaku kejahatan menjadi instrumen yang sangat penting. Oleh karena itu, diperlukan peninjauan kembali aturan hukum yang ada, salah satunya adalah UU No. 5/1990. Sebab, aturan tersebut dapat dikatakan sudah sangat lawas dan kurang efektif dengan kondisi saat ini. Selain instrumen hukum yang harus ditinjau kembali, kolaborasi antara badan terkait dalam menindak pelaku kejahatan juga harus lebih ditingkatkan.

Leave a Reply