Oleh: Muhammad Syafiq – Peneliti di Agrarian Resource Center (ARC)
Kalian tentu masih ingat kan bagaimana kita, khususnya ketika masih mahasiswa, kerap menulis alinea pertama dalam skripsi atau tugas kita dengan menunjukkan betapa besar dan kayanya negara kita? Bahwa Indonesia itu memiliki belasan ribu pulau yang membentang dari timur ke barat; bahwa tidak ada yang menandingi bentangan garis pantai Indonesia; atau, bahwa daratan dan lautan Indonesia yang begitu luas mengandung potensi sumber daya alam yang teramat tinggi. Tapi, apa sih sebenarnya pemaknaan yang kita berikan saat menulis itu semua? Apakah di saat yang sama kita meyakini bahwa sumber daya alam Indonesia yang tumpah ruah itu dapat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat? Jika demikian, apa yang menjadi tolak ukurnya? Apakah angka-angka, seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional, yang akan kita gunakan? Pernahkah kita mempertanyakan dari mana angka-angka itu berasal atau bagaimana keuntungan yang dihasilkan itu diperoleh? Lebih jauh, apakah peningkatan angka-angka tersebut juga berarti atau sama dengan pengurangan angka kemiskinan?
Tentu saja, untuk menjawab pertanyaan itu semua, kita perlu pisau analisis dan metode penyelidikan yang cermat. Kita tidak boleh begitu saja dengan segera menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh orang banyak atau media massa, termasuk oleh pemerintah sendiri. Dengan kata lain, sebagai bagian dari kelompok intelektual, kita harus selalu bersikap skeptis dan kritis terhadap wacana umum yang berkembang.
Saya tidak berencana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dalam satu hentakan tulisan pendek ini melainkan, terlebih dahulu, mencoba untuk membagikan pemahaman yang relatif baru kepada pembaca tentang apa yang sering kita sebut sebagai “sumber daya alam” – sebuah istilah yang sebenarnya coba saya hindari karena kerap mengabaikan hubungan antara alam dengan manusia yang hidup di atasnya. Apalagi, kita, sebagai (alumni) mahasiswa Ilmu Kelautan, selalu akan dipertemukan dengan bentang alam yang menjadi objek studi kita, misalnya, wilayah pesisir dan laut di mana ada penduduk atau komunitas yang memanfaatkan alam di sekitarnya. Alih-alih menggunakan istilah “sumber daya alam”, di dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah “sumber agraria” atau “agraria” untuk menjelaskan bahwa manusia dan alam tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bagi saya, manusia dan relasi yang bekerja di antara mereka adalah variabel determinan bagaimana alam dibentuk dan terbentuk. Karenanya, bagian pertama tulisan ini akan dipandu dengan pertanyaan “Apa itu agraria?”.
Konsep Umum dan Istilah: Apa itu Agraria?
Tidak jarang saya temui teman-teman saya yang tidak akrab dengan konsepsi agraria, ketika mendengar kata “agraria”, langsung merujuk pada tanah atau sertifikat tanah. Alasannya, karena kata “agraria” menempel dengan nama kementrian saat ini (Kemenetrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ATR/BPN), termasuk karena program sertifikasi tanah di Indonesia dijalankan oleh lembaga-lembaga tersebut. Paling jauh, mengasosiasikan istilah “agraria” hanya terbatas pada lahan pertanian atau kegiatan pertanian, serupa dengan apa yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam pengertian yang sempit, apa yang dimaknai oleh teman-teman saya itu ada benarnya juga, hanya saja masih belum lengkap dan memerlukan penjelasan yang lebih analitis.
Pendekatan Pertama: Agraria dalam Konteks Kebendaan
Sebagai sebuah konsep, istilah agraria sebenarnya dapat kita amati melalui dua pendekatan (Bachriadi & Safitri, 2021). Pendeketan pertama adalah dengan meletakkannya sebagai sebuah benda atau objek material, atau sebagai sesuatu yang terberi (given). Ini bisa berarti merujuk pada sesuatu yang muncul dan eksis secara alamiah, seperti bidang tanah (land, soil), lapisan kerak bumi (earth’s surface), hutan (forest), atau pegunungan (highlands). Lebih baik lagi jika kita melacak pada bahasa-bahasa yang telah lebih dulu menggunakannya. Misalnya, kata “agraria” diduga berasal dari kata ajrah atau agras dalam Bahasa Sansakerta yang berarti “dataran” atau berasal dari kata agros dalam bahasa Yunani yang berarti “bidang tanah” (p. 7).
Pengertian yang sebangun juga dapat kita temukan di dalam konstitusi negara Indonesia: Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita kenal sebagai UUPA 1960. Di dalam UUPA 1960, terkhusus yang tertera pada konsideran Menimbang huruf (a), Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan (2) mendefinisikan “agraria” sebagai “bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” – pengertian yang sama juga bisa kita telusuri pada teks UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Perhatikan pula Pasal 1 ayat (4) dalam UUD 1960 di mana pengertian “bumi” juga berarti segala benda yang ada di atas, di bawah, dan di dalamnya, seperti mineral atau bahan tambang. Begitu juga dengan apa yang tertulis pada ayat (5), pengertian “air” juga berarti perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
Mengacu pengertian UUPA 1960 di atas, ternyata apa yang kita geluti di Ilmu Kelautan Unpad selama ini ada dalam cakupan agraria. Jadi, sekarang kita tidak boleh lagi membatasi pengertian hanya pada tanah atau lahan pertanian karena harus lebih dari pada itu! Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keseluruhan isi teks konstitusi tersebut, baik yang tertulis di UUPA 1960 maupun UUD 1945, tidak hanya memberikan pengertian seperti yang ditulis di atas. Namun, juga berarti soal pengaturan dan pembentukan hak-hak tertentu serta relasi sosial dan politik atas keberadaan benda atau objek material yang kita sebut sebagai “agraria”. Penjelasan lain tentang ini akan kita temukan pada pendekatan yang kedua.
Pendekatan Kedua: Agraria dalam Konteks Relasional
Pendekatan kedua untuk memahami apa itu agraria bisa kita mulai dengan merujuk pada konteks historisnya. Pada jaman Romawi Kuno sekitar tahun 300an Sebelum Masehi (SM), kata ager atau agrarius yang berarti sebidang tanah atau lahan pertanian, digunakan untuk merujuk pada kesatuan wilayah yang membentuk suatu ekosistem pedesaan yang memuat komunitas/masyarakat di dalamnya (Tuma, 1965, p. 28). Banyak yang menduga kata ager ini yag kemudian diserap oleh penutur Bahasa Inggris menjadi kata agrarian untuk menjelaskan pembagian atau penggunaan bersama atas tanah, khususnya tanah pertanian.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tuma (1965), masyarakat Romawi Kuno telah mengenal pembagian penguasaan tanah yang bersifat, baik privat maupun publik. Tanah privat, kata Tuma, adalah tanah yang dikuasai oleh petani kecil, petani penggarap, atau budak di bawah perintah tuannya. Sementara, tanah publik (ager publicius) adalah tanah yang dialokasikan untuk para pendatang atau veteran perang, serta petani-petani yang dibolehkan menggarap oleh tuan-tuan tanah yang menjadi penguasa tanah tersebut. Selain itu, yang menarik, masih menurut Tuma, ager publicius ini juga digunakan untuk merujuk tanah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Romawi yang belum digunakan atau digarap oleh siapa pun. Seiring berjalannya waktu, ager publicius menjadi objek oleh tuan-tuan tanah kaya untuk diubah menjadi tanah privat yang dapat dimiliki oleh mereka secara individual. Konsekuensinya, banyak petani-petani penggarap yang menggarap tanah publik tersebut disingkirkan atau digusur.
Keserakahan penguasa atau tuan-tuan tanah di masyarakat Yunani atau Romawi kerap memicu perlawanan yang menuntut pengaturan hak atas tanah untuk petani. Misalnya,peraturan yang dinamankan Seisachtheia pada pemerintahan Solon di Yunani Kuno (500 SM) digunakan untuk mengatur penguasaan tanah yang ‘adil’ antara pemilik tanah dengan penggarap. Juga, di jaman Republik Romawi melalui peraturan perundang-undangan Leges Agrariae (486 SM) yang mengharuskan para bangsawan merelakan sebagian tanahnya yang tidak digunakan diserahkan kepada para petani. Dengan segala persoalannya, undang-undang (UU) ini pun terus diperbaharui yang salah satunya adalah UU Licinius (360 SM) atau UU Lex Agraria (130 SM) yang intinya mengatur pembatasan luas tanah maksimum yang bisa dimiliki dan/atau dikuasai oleh seseorang. Jadi, jika ada seseorang yang menguasai lahan melebihi batas maksimum, kelebihan tanah tersebut diambil pemerintah dan diserahkan kepada petani yang membutuhkan (Untuk penjelasan lebih rinci lihat juga Gunawan Wiradi (2009): 102-104).
Dalam hal ini, pembatasan luasan tanah yang bisa dimiliki dan/atau dikuasai oleh seseorang menjadi penting karena akan mencegah kepemilikan atau kepenguasaan tanah oleh segelintir orang! Peraturan-peraturan ini lah yang kemudian menjadi landasan konsepsi dari apa yang disebut sebagai Landreform – penjelasan mengenai Landreform atau Agrarian Reform akan kita bahas secara terpisah dari tulisan ini.
Dari penjelasan singkat di atas, maka pengertian istilah “agraria” pun semakin kompleks dan tidak cukup untuk hanya merujuk pada konteks kebendaannya, tapi juga mencakup manusia atau orang-orang yang ada di atasnya! Mengutip Bachriadi dan Safitri (2021, pp. 8-9), “pengertian ‘ager’, dan kemudian juga ‘agraria’, tidak hanya mengacu kepada lahan-lahan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pertanian secara teknis saja, tetapi juga mencakup gagasan tentang pembagian kuasa atas tanah dan pengelolaan/pengaturan suatu wilayah yang dikategorikan sebagai tanah/area milik publik dan tanah-tanah/area yang bersifat privat atau menjadi milik pribadi”.
Melanjutkan penjelasan Bachriadi dan Safitri di atas, sekarang kita bisa mengatakan bahwa istilah agraria harus lah merujuk pada aspek-aspek relasional atau hubungan antara orang/sekelompok orang dengan tanah atau lingkungannya, atau antara orang/sekelompok orang dengan orang/sekelompok orang lainnya yang terkait dengan tanah dan lingkungannya, yang terbentuk karena ketentuan atau pengaturan kebiasaan/budaya dan struktur sosial setempat. Perlu diingat bahwa relasi atau hubungan sosio-agraria ini tidak lah kaku, tetapi sangat dinamis untuk terus berubah dari waktu ke waktu, dan sangat bergantung pada kondisi sosial, politik, dan budaya setempat. Ketika relasi agraria ini berubah, struktur sosial masyarakat setempat pun juga akan ikut berubah. Perubahan ini akan sangat amat ditentukan dengan satu aspek yang selalu melekat pada relasi agraria itu sendiri, yakni kekuasaan atau kuasa (power). Oleh karena itu, pada dasarnya, ketika kita membicarakan mengenai agraria atau relasi agraria kita juga harus membicarakan relasi kuasa (power relation)!
Apabila kembali lagi kepada teman-teman saya yang selalu beranggapan atau menafsirkan istilah agraria sebagai lahan pertanian, ternyata, ada benarnya karena memang secara historis istilah “agraria” selalu berangkat dari konteks kegiatan atau lahan pertanian dan orang-orang yang menggarapnya. Menjadi belum lengkap penafsiran ini karena mereka, secara sadar atau tidak, telah mengabaikan bagaimana tanah itu menjadi mungkin untuk digarap oleh para petani-petani dan/atau dikuasai atau dimiliki hanya oleh orang-orang tertentu.
Tulisan ini tentu saja terlalu singkat untuk kita dapat segera memahami agraria, tapi saya telah berusaha untuk merangkum penjelasan-penjelasan yang saya pahami tentang itu. Masih banyak terdapat poin-poin yang bisa dielaborasi lebih jauh. Namun, setidaknya tulisan ini bisa menjadi awalan atau perkenalan kita pada isu-isu agraria. Mengutip Gunawan Wiradi (2009, p. 101), “memang semua arti [kata agraria] tersebut di atas memberi kesan bahwa tekanannya memang pada ‘tanah’ [atau lahan pertanian]. Tetapi hal ini justru karena ‘tanah’ mewadahi semuanya”.
Pada tulisan Pengantar selanjutnya, saya akan membicarakan mengenai relasi kuasa secara khusus dan, mungkin, beberapa konsep penting lainnya yang berkaitan dengan agraria atau relasi agraria. Beberapa konsep penting itu di antaranya: struktur sosial/agraria, sistem penguasaan tanah (land tenure system), petani dan kelas-kelas masyarakat pedesaan, serta ekonomi-politik perubahan agraria. Saya yakin konsep-konsep ini tidak hanya terbatas pada masyarakat pedesaan di wilayah non-pesisir, tapi juga berlaku pada komunitas atau masyarakat pesisir di hampir seluruh Indonesia. Seperti yang termaktub pada konstitusi kita bahwa wilayah pesisir dan lautan dalam itu tercakup dalam istilah atau konsepsi agraria. Oleh karena itu, kita, sebagai (alumni) mahasiswa Ilmu Kelautan tidak bisa lagi alergi atau anti untuk membicarakan isu-isu agraria di Indonesia dan relasi kuasa yang bekerja di dalamnya.
Informasi Kolumnis:
Muhammad Syafiq, S.Kel
Peneliti, Agrarian Resource Center
Contact: syasyafiqq@gmail.com