Oleh : Ghelby Muhammad Faid – Direktur Riset KOMITMEN Research Group
Laporan Sixth Assessment Report yang baru-baru ini dirilis the International Panel on Climate Change (IPCC) menekankan urgensi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir untuk “prevent the further acceleration of sea-level rise beyond 2050”. Perubahan iklim kemungkinan akan memiliki implikasi yang signifikan bagi keamanan maritim, khususnya bagi negara-negara pesisir dan kepulauan di Asia Tenggara dan Pasifik karena tantangan yang sudah ada ada akan diperburuk oleh perubahan iklim.
Menurut the International Military Council on Climate and Security, perubahan iklim dapat mengubah dinamika keamanan di kawasan Indo-Pasifik, dengan meningkatnya pembajakan dan kejahatan transnasional yang disebabkan oleh perpindahan iklim, kemiskinan, dan penangkapan ikan yang berlebihan karena polusi, pemanasan, dan pengasaman laut. Hal ini dapat membebani sumber daya negara yang ada dan kemampuan keamanan maritim serta meningkatkan kebutuhan akan pengelolaan dan peraturan laut tambahan.
Perubahan iklim juga akan berdampak pada kedaulatan negara, dengan garis pantai dan batas laut yang berubah karena naiknya permukaan laut. Pergeseran ini akan berdampak pada zona ekonomi eksklusif dan zona maritim sebagaimana didefinisikan pada the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Batas maritim sangat penting untuk memastikan akses ke sumber daya dan hak navigasi. Di Kiribati dan Kepulauan Marshall, tindakan telah diambil untuk ‘memerangi’ kenaikan permukaan laut.
The blue economy, yang menggabungkan energi terbarukan, perikanan, transportasi laut, pariwisata, dan pengelolaan limbah sangat penting untuk keamanan ekonomi dan mata pencaharian di Asia Tenggara dan Pasifik. Peningkatan banjir dan pengasaman laut, misalnya, mengancam industri perikanan yang mana 200 juta orang di Indo-Pasifik bergantung pada industri perikanan untuk makanan dan pekerjaan. Industri perikanan di Asia Tenggara dan Pasifik adalah industri besar contohnya industri tuna saja di Pasifik adalah memiliki nilai US$6 miliar.
Asia Tenggara dan Pasifik dapat bersatu untuk mengadvokasi batas-batas maritim yang “tetap” saat permukaan air laut naik. Hukum maritim ASEAN telah difokuskan pada penguatan UNCLOS untuk mengelola sengketa wilayah di kawasan, khususnya di Laut Tiongkok Selatan. Pada pertemuan PIF 2021, para pemimpin berkomitmen untuk deklarasi pelestarian zona maritim dalam menghadapi kenaikan permukaan laut terkait perubahan iklim. Deklarasi tersebut mengakui pentingnya UNCLOS dalam menentukan zona maritim dan menganjurkan penetapan batas laut agar tidak berkurang karena erosi teritorial akibat iklim.
Dampak perubahan iklim terhadap keamanan maritim di Asia Tenggara dan Pasifik akan menantang norma-norma hukum internasional, mengacaukan the blue economy, mengancam mata pencaharian, dan mengakibatkan perpindahan massal. Daerah-daerah tersebut harus bekerja sama untuk memerangi masalah lintas batas ini, berbagi kiat pengelolaan sumber daya kelautan, dan memperkuat tatanan maritim yang dipimpin UNCLOS.
Tanpa pendekatan regional yang benar-benar mencakup negara-negara pesisir dan kepulauan yang paling terkena dampak di Asia Tenggara dan Pasifik, Indo-Pasifik tidak akan siap menghadapi dampak perubahan iklim di wilayah maritimnya yang luas.
#MCPRDailyNews